Masalah dalam Dunia Kerja “Burnout”

16 August 2024 Oleh mzakyrakhmat Dilihat 501 kali

Masalah dalam Dunia Kerja “Burnout”

(Sumber gambar: Freepik.com)

Istilah "burnout" pertama kali diperkenalkan oleh psikolog asal Amerika, Herbert Freudenberger, pada tahun 1974. Freudenberger menggunakan istilah ini untuk menggambarkan keadaan kelelahan fisik dan emosional yang dialami oleh para pekerja, terutama yang bekerja di bidang layanan kemanusiaan, seperti perawat dan dokter.

Graham Greene, seorang penulis yang karyanya sering menggambarkan kelelahan emosional dan spiritual yang mendalam pada karakter-karakternya, menjadikan istilah  “burnout” berkembang menjadi sebuah sindrom psikologis yang diakui secara luas, terutama dalam konteks profesional yang menghadapi tekanan tinggi. Burnout ditandai oleh tiga komponen utama: kelelahan emosional, depersonalisasi, dan penurunan pencapaian pribadi. Ketiga elemen ini sering kali muncul dalam profesi yang memiliki tingkat stres tinggi, seperti dalam bidang kesehatan mental.

Burnout memiliki dampak negatif tidak hanya pada individu yang mengalaminya tetapi juga pada organisasi tempat mereka berada. Burnout telah dikaitkan dengan berbagai dampak negatif, termasuk ketidakpuasan kerja, ketidakhadiran, turnover yang tinggi, dan penurunan kualitas pelayanan. Ketidakpuasan kerja yang diakibatkan oleh burnout dapat menyebabkan profesional meninggalkan profesi mereka, yang pada gilirannya dapat meningkatkan beban kerja bagi mereka yang tetap bertahan. Hal ini menciptakan siklus yang memperburuk masalah burnout dalam jangka panjang.

Burnout atau kelelahan akibat pekerjaan adalah kondisi yang sering terjadi di lingkungan profesional, terutama di sektor yang menuntut interaksi intensif dengan klien , seperti bidang kesehatan . Beberapa faktor utama yang menyebabkan kondisi burnout pegawai pada lingkungan kerja itu sendiri adalah:

  • Jumlah Staf yang Kurang Memadai

Ketika sebuah organisasi berfokus pada pelayanan terhadap klien tetapi tidak memiliki jumlah staf yang memadai, beban kerja setiap pekerja menjadi lebih berat daripada yang seharusnya. Situasi ini sering kali memaksa pekerja untuk menangani lebih banyak tugas daripada yang dapat mereka selesaikan dengan efektif, yang pada akhirnya mengarah pada kelelahan yang berlebihan.

  • Jam Kerja yang Padat

Selain itu, jam kerja yang panjang dan sering kali tidak menentu juga dapat menjadi penyebab signifikan terjadinya burnout. Dalam dunia kesehatan, misalnya, para tenaga medis sering kali dihadapkan pada kondisi darurat yang membutuhkan perhatian segera. Akibatnya, mereka sering kali harus bekerja lembur atau berada dalam kondisi siaga, yang menguras energi fisik dan mental mereka. Keadaan ini tidak hanya mengganggu keseimbangan kehidupan kerja, tetapi juga meningkatkan risiko burnout karena kurangnya waktu untuk beristirahat dan memulihkan diri.

  • Klien

Karakteristik klien atau orang yang dilayani juga bisa memicu terjadinya burnout. Pekerja yang berada di area layanan, seperti penjaga kasir toko, perawat atau seorang konselor harus selalu siap memberikan pelayanan terbaik kepada para klien mereka. Namun, ada kalanya mereka harus berhadapan dengan klien yang sulit ditangani, yang bisa menambah tingkat stres dan kejenuhan. Misalnya, klien yang membutuhkan komunikasi dan dukungan terus-menerus dapat menciptakan tekanan emosional yang tinggi bagi para pekerja. Selain itu, insiden yang disebabkan oleh klien, seperti keluhan atau komplain, memerlukan penanganan ekstra yang kadang kala memunculkan perasaan frustrasi dan kewalahan.

  • Hubungan dengan Rekan Kerja

Hubungan dengan rekan kerja juga menjadi salah satu hal yang dapat memengaruhi tingkat burnout. Hubungan yang tidak harmonis di tempat kerja, seperti konflik dengan rekan kerja atau kurangnya dukungan antar anggota tim, dapat memperburuk tingkat stres. Ketika seorang pekerja merasa terisolasi atau tidak mendapatkan dukungan dari rekan-rekannya, mereka cenderung merasa tidak puas dengan lingkungan kerja mereka. Perasaan ini dapat memicu burnout, terutama jika tidak ada upaya untuk memperbaiki hubungan kerja tersebut.

  • Kelelahan Emosional

Kelelahan emosional adalah salah satu komponen utama dari burnout yang banyak dialami oleh para profesional di bidang kesehatan mental. Banyak dari mereka melaporkan tingkat kelelahan emosional yang tinggi akibat tuntutan emosional dalam peran mereka. Sebagai contoh, perawat kesehatan mental harus terus-menerus menghadapi dan mengelola emosi pasien yang sering kali berada dalam kondisi krisis. Hal ini menuntut ketahanan emosional yang luar biasa, yang jika tidak dikelola dengan baik, dapat mengarah pada kelelahan yang mendalam.

  • Kurangnya dukungan dari organisasi

Kurangnya dukungan dari organisasi juga menjadi faktor yang signifikan dalam terjadinya burnout. Ketika perusahaan atau institusi hanya menuntut performa kerja yang tinggi tanpa mempertimbangkan kesejahteraan pegawai, hal ini dapat menciptakan perasaan kewalahan. Tanpa dukungan yang memadai, seperti pelatihan, supervisi, atau bahkan pengakuan atas kerja keras yang dilakukan, para pekerja mungkin merasa tidak dihargai dan berjuang sendirian menghadapi tantangan yang ada. Kondisi ini secara langsung berkontribusi pada munculnya burnout, karena para pekerja merasa tidak mendapatkan dukungan yang mereka butuhkan untuk menjaga keseimbangan antara tuntutan pekerjaan dan kesejahteraan pribadi mereka.

Burnout di tempat kerja tentu menjadi tantangan yang perlu segera diatasi, baik oleh perusahaan maupun karyawan. Untuk mengatasinya, baik dari sisi perusahaan maupun karyawan, ada beberapa langkah yang bisa diambil, di antaranya:

  • Perbanyak Sumber Daya di Tempat Kerja, Organisasi perlu memastikan karyawan mendapatkan dukungan yang cukup, seperti bantuan dari rekan kerja, kebebasan dalam bekerja, dan kesempatan untuk terus belajar dan berkembang. Dengan adanya dukungan sosial, karyawan akan merasa lebih dihargai dan nyaman saat menghadapi tantangan di tempat kerja. Memberikan kebebasan dalam bekerja juga penting, karena karyawan bisa lebih kreatif dan bekerja sesuai dengan gaya mereka sendiri. Jangan lupa, kesempatan untuk mengikuti pelatihan atau kursus juga bisa membuat karyawan merasa terus berkembang dan tidak stagnan. Organisasi juga sebaiknya rutin mengecek tingkat stres karyawan dan menawarkan program-program yang bisa membantu mereka rileks dan kembali segar.
  • Dorong Karyawan untuk Mengatur Pekerjaan Mereka Sendiri, ajak karyawan untuk lebih proaktif dalam menyesuaikan pekerjaan mereka agar sesuai dengan minat dan kemampuan. Ini yang disebut job crafting. Misalnya, mereka bisa mencari tugas yang lebih menantang atau menambah variasi dalam pekerjaan mereka sehari-hari. Selain itu, penting juga untuk mendukung aktivitas pemulihan seperti olahraga, rekreasi, atau bahkan sekadar menikmati waktu luang dengan keluarga dan teman. Aktivitas-aktivitas ini membantu karyawan mengurangi stres dan mengisi ulang energi mereka.
  • Terapkan Kepemimpinan yang Mendukung, Gaya kepemimpinan sangat berpengaruh dalam mencegah burnout. Pemimpin yang inspiratif dan mendukung karyawan mereka dapat membantu menjaga semangat kerja tetap tinggi. Mereka sebaiknya memberikan umpan balik yang membangun, mendukung karyawan secara emosional, dan memberi ruang bagi karyawan untuk berkembang. Pemimpin juga perlu peka terhadap tanda-tanda stres pada karyawan dan aktif membantu mengurangi beban kerja yang berlebihan agar karyawan tidak kelelahan.
  • Manfaatkan Sumber Daya Pribadi Karyawan, Setiap karyawan punya kelebihan masing-masing, seperti kecerdasan emosional atau sifat yang proaktif. Orang dengan kecerdasan emosional tinggi cenderung lebih baik dalam mengelola stres dan menghadapi tantangan. Mereka juga lebih fleksibel dalam menghadapi situasi yang sulit. Sementara itu, karyawan yang proaktif biasanya lebih inisiatif dalam mencari solusi dan tidak menunggu sampai masalah datang. Dengan memanfaatkan kekuatan ini, karyawan bisa lebih efektif mengelola stres dan menghindari burnout.
  • Gabungkan Pendekatan Organisasi dan Pribadi, Pencegahan burnout yang paling efektif adalah dengan menggabungkan upaya dari organisasi dan karyawan itu sendiri. Organisasi perlu memastikan bahwa mereka menyediakan lingkungan yang mendukung kesejahteraan karyawan, sementara karyawan juga harus aktif dalam mengelola kesejahteraan mereka sendiri. Dengan menggabungkan kebijakan perusahaan yang mendukung dengan strategi individu seperti job crafting dan kegiatan pemulihan, kita bisa menciptakan lingkungan kerja yang lebih sehat dan bahagia, di mana risiko burnout bisa diminimalkan.

Secara keseluruhan, burnout di lingkungan kerja dapat terjadi akibat dari kombinasi berbagai faktor yang saling berkaitan, mulai dari beban kerja yang berlebihan, jam kerja yang panjang, karakteristik klien yang menantang, hingga kurangnya dukungan dari organisasi. Untuk mengurangi risiko burnout, penting bagi suatu perusahaan untuk dapat memberikan lingkungan kerja yang sehat kepada para pegawai. Dengan demikian, lingkungan kerja yang lebih sehat dan produktif dapat tercipta, yang pada akhirnya akan menguntungkan baik bagi para pekerja maupun organisasi itu sendiri.

 

Referensi

Bakker, A. B., & de Vries, J. D. (2021). Job Demands–Resources theory and self-regulation: new explanations and remedies for job burnout. Anxiety, Stress and Coping, 34(1), 1–21. https://doi.org/10.1080/10615806.2020.1797695

O’Connor, K., Muller Neff, D., & Pitman, S. (2018). Burnout in mental health professionals: A systematic review and meta-analysis of prevalence and determinants. In European Psychiatry (Vol. 53, pp. 74–99). Elsevier Masson SAS. https://doi.org/10.1016/j.eurpsy.2018.06.003

Tsolakidou, A., Fouskas, T., Koulierakis, G., & Liarigkovinou, A. (2024). Unravelling the effects of burnout on mental health nurses: a qualitative approach. International Journal of Sociology and Social Policy. https://doi.org/10.1108/IJSSP-09-2023-0241

Informasi Lainnya