Keadaan graffiti di Kota Bandung masih bercampur dengan keadaan graffiti yang ada di budaya Barat seperti vandalisme (merusak dan menghancurkan hasil karya seni dan barang berharga lainnya) di Amerika. Tetapi ada juga yang menggunakan budaya Timur yaitu etika dan sopan santun di Indonesia, seperti berinteraksi dengan masyarakat saat melakukan kegiatan graffiti. Penggiat graffiti di Kota Bandung memiliki agenda masingmasing diantaranya membuat graffiti hanya untuk menulis nama, mengungkap isu politik, dan hanya untuk membuat gambar. Masyarakat yang belum mengetahui graffiti akan menilai graffiti hanya sebatas vandalisme atau sesuatu yang merusak lingkungan. Karena melihat penggiat graffiti yang melakukan aksinya pada waktu malam hari dengan bahan spray paint/cans. Sebagian penggiat graffiti mulai berfikir jika tetap melakukan vandalisme, karya yang mereka buat tidak akan maksimal dan akan dinilai masyarakat hanya merusak lingkungan. Akhirnya sebagian penggiat graffiti memutuskan untuk mulai berinteraksi kepada masyarakat dengan melalui izin, agar mendapatkan hasil yang maksimal dan akhirnya sebagian masyarakat bisa menerima graffiti yang tidak hanya sekedar coret-coret dan melihat nilai keindahan didalamnya. Sasaran dari budaya yang bergeser ini untuk menginformasikan kepada penggiat graffiti bahwa budaya Timur, yaitu etika dan sopan santun harus tetap dibudayakan karena penyesuaian budaya asal Indonesia khususnya Kota Bandung, agar graffiti bisa diterima oleh masyarakat. Ketika penggiat graffiti menginformasikan pesan, makna dari gambar yang akan
dibuat, dan merealisasikan kedalam bentuk graffiti yang maksimal, masyarakat akan mengerti keberadaan graffiti yang berdampak pada pembaharuan suasana dalam lingkungan masyarakat.