Televisi (TV) menjadi salah satu perkembangan teknologi yang masif di masyarakat, dengan balutan program acara yang beragam dapat menghadirkan sebuah pengalaman tersendiri bagi audiens. Namun TV yang seharusnya bisa menjadi media informasi relevan menjadi irelevan karena tertutupi program yang mengutamakan rating semata. Pengukuran rating ini didasari dari waktu yang digunakan untuk menyaksikan sebuah acara, dalam era informasi dikenal dengan istilah ekonomi atensi. Aspek emosional menjadi faktor penting dalam mendapatkan penilaian bagus, salah satu program adalah acara realitas atau reality show. Dengan menghadirkan sebuah cerita berbasis realita, menarik empati masyarakat dan menjadikan masyarakat terikat dengan realita semu tersebut. Realita sesungguhnya kemudian dijadikan komoditas, konten dibuat semenarik mungkin dengan melebih-lebihkan suatu keadaan yang padahal sebenarnya biasa saja dan bisa ditemukan dalam keseharian. Menariknya meski hal itu disadari sebagai konten artifisial namun masyarakat tetap menontonnya. Ketika jalan cerita terjadi seperti yang mereka harapkan, mereka mengabaikan kenyataan sebenarnya, dan lari kepada harapan akan acara realitas tersebut. Reality show kemudian seolah menjadi pelarian dari apa yang tidak mereka capai dalam kehidupan sebenarnya. Dengan menggunakan realitas sesungguhnya pada keseharian, penulis berkeinginan untuk meningkatkan kesadaran terhadap isu ini. Penulis menyampaikannya melalui parodi hiperbola dengan medium video, menjadikan konten reality show versi penulis. Kemudian dipresentasikan dengan TV dan objek-objek yang mendukung representasi “ruang semu” bagi masyarakat menengah kebawah yang menjadi konsumen utama reality show pada karya instalasi penulis.