Hans J. Morgenthau mengistilahkan esensi politik dengan the struggle for power, perjuangan untuk mendapatkan kekuasaan. Determinasi institusional partai dan person
kerapkali berwawasan pragmatisme yang kental. Dalam terma ini, resiprokalitas prilaku elit serta laku ambiguitas semakin kentara dengan menjalin komunikasi koalisi yang hanya menguntungkan diantara mereka saja serta menafikan kepentingan rakyat.
Buah dari itu semua adalah ketidakpercayaan (untrust) mayoritas masyarakat terhadap
partai dan sistem kepartaian di Indonesia. Tingginya angka “golongan putih” (golput) dalam berbagai Pilkada bahkan Pemilu menjadi indikasi sangat fundamental bahwa memang masyarakat semakin tidak percaya terhadap “pelaku-pelaku” partai yang hanya “manis dibibir dan lain dihati”. Rupanya masyarakat jengah dan sangat mafhum bahwa kebohongan bagi para politisi adalah keniscayaan.
Robert Agger (1961) mengatakan bahwa secara politis, sinisme politik menampilkan diri dalam perasaan bahwa politik adalah urusan kotor, politisi tidak dapat dipercaya, kekuasaan diselenggarakan oleh orang–orang ”tanpa muka” dan lain sebagainya.
Alergi terhadap segala prilaku partai politik adalah tahapan yang paling akut dari sinisme politik tersebut. Suatu kondisi psikologis yang jelas sangat tidak kondusif bagi upaya membangun sistem demokrasi multipartai yang absah dan efektif serta menyeimbangkan antara aspek representativeness (perwakilan) dan governability (pemerintahan).
Alergi para pegiat perubahan dan phobia masyarakat umum terhadap partai politik harus dikikis habis. Gerbong parpol harus dijejali oleh para akademisi, pengusaha, aktivis
LSM dan kalangan lainnya. Mengalienasi partai politik berarti juga berkontribusi bagi proses pembusukan politik (political decay). Maka, Bangunkanlah partai-partai!