Perancangan ulang Gereja Santa Theresia Jambi dilakukan sebagai respon atas beragam permasalahan yang dihadapi, mulai dari kapasitas ruang ibadah yang tidak lagi mampu menampung seluruh umat, keterbatasan ruang penunjang untuk kegiatan kategorial, hingga kualitas akustik ruang yang mengganggu kekhusyukan ibadah. Selain itu, kondisi fisik bangunan yang mulai mengalami kerusakan juga menambah urgensi renovasi. Berdasarkan hasil wawancara dengan pihak Gereja dan supervisi dari Keuskupan Agung Palembang, Gereja ini diharapkan dapat menjadi ikon baru Gereja Katolik di Jambi yang mencerminkan identitas lokal melalui pendekatan kearifan lokal. Oleh karena itu, perancangan ulang dilakukan melalui pendekatan yang tetap mempertahankan identitas awal gereja, sekaligus menyempurnakannya dengan perbaikan tata ruang, sirkulasi umat, dan kualitas akustik. Konsep perancangan mengangkat kearifan lokal Jambi sebagai dasar pendekatan, dengan tetap mempertimbangkan latar historis bahwa umat awal Gereja Santa Theresia mayoritas berasal dari Jawa. Oleh karena itu, desain yang diusulkan menyatukan elemen-elemen khas Jambi seperti bentuk atap yang terinspirasi dari rumah adat Kajang Lako, penggunaan material lokal seperti rotan manau, serta nilai simbolik dari Candi Muaro Jambi yang direfleksikan dalam elemen vertikal dan nuansa spiritual ruang. Unsur-unsur tersebut dikombinasikan secara harmonis dengan kearifan lokal Jawa yang telah lebih dulu membentuk karakter ibadah dan visual gereja. Penggabungan ini diharapkan dapat membentuk suasana ruang ibadah yang lebih akrab, sakral, dan relevan dengan kondisi umat saat ini.