Penelitian ini mengkaji pemberdayaan penyandang tunanetra sebagai pengajar musik melalui studi kasus pada Sunar Sanggita di Bali. Lembaga kursus musik inklusif ini didirikan tahun 2023 dengan misi memberdayakan tunanetra sebagai pengajar musik bagi anak-anak maupun dewasa , menawarkan kursus musik modern dan tradisional dengan harga terjangkau dan sistem fleksibel. Meskipun memiliki misi sosial yang kuat, Sunar Sanggita menghadapi tantangan berupa rendahnya keberlanjutan siswa dan keraguan masyarakat terhadap kapabilitas pengajar tunanetra. Menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan customer journey mapping dan empathy mapping, penelitian ini mengeksplorasi pengalaman serta pain points dari konsumen dan Seluruh stakeholder di Sunar Sanggita.
Data diperoleh melalui wawancara mendalam dengan 5 orang tua siswa, 5 siswa, 3 pengajar tunanetra, seorang asisten pengajar, ahli musik inklusif, dan tim internal. Hasil penelitian mengidentifikasi pain points utama seperti ketidaklengkapan informasi awal, keraguan terhadap kemampuan pengajar tunanetra, dan kurangnya standarisasi pengajar. Solusi yang dirancang berfokus pada transformasi branding dan peningkatan transparansi informasi pada tahap awareness. Implementasi solusi dalam bentuk eksperimen 14 hari menunjukkan hasil positif dengan jangkauan 261.497 orang (31,3% penduduk Denpasar), 78 orang menghubungi, dan 20 siswa baru yang mendaftar meskipun telah mengetahui bahwa pengajarnya tunanetra. Temuan unik meliputi antusiasme konsumen yang memberikan ulasan positif di media sosial, kembalinya calon siswa lama, dan ketertarikan venue prestisius GWK Bali untuk berkolaborasi.
Penelitian ini berkontribusi pada pengembangan model wirausaha sosial inklusif yang berkelanjutan dengan mengubah persepsi dari "menyembunyikan identitas pengajar tunanetra" menjadi "menonjolkan keunikan dan kelebihan" mereka sebagai proposisi nilai yang menarik bagi pasar.
Kata kunci: Pemberdayaan tunanetra, wirausaha sosial, customer journey mapping, empathy mapping, Transformasi Branding