Satu ciri trauma yang sudah cukup dikenal, yang banyak orang sudah
akrab, adalah ketidakmampuan kita untuk mengartikulasikan apa yang
terjadi pada diri kita. Kita bukan hanya kehilangan kata-kata; memori kita
juga turut mandek. Dalam suatu kejadian traumatis, proses pikiran kita bisa
menjadi terserak-serak dan berantakan sampai-sampai kita tak mengenali lagi
memori itu sebagai bagian dari peristiwa aslinya. Serpihan-serpihan memori,
yang tersebar dalam bentuk gambaran-gambaran, sensasi tubuh, dan kata-kata,
tersimpan dalam alam bawah sadar kita dan bisa bangkit di kemudian hari
oleh apa saja yang mirip dengan pengalaman aslinya.
Begitu terpicu, seolah-olah sebuah tombol putar balik ditekan, membuat
kita melakonkan kembali aspek-aspek trauma semula dalam hidup keseharian
kita. Secara tak sadar, kita bisa mendapati diri bereaksi terhadap orangorang
tertentu, peristiwa tertentu, atau situasi tertentu dengan cara-cara lama
yang menggaungkan masa lalu.
Sigmund Freud telah mengidentifikasi pola ini lebih dari seratus
tahun
lalu. Pelakonan ulang trauma, atau “kompulsi repetisi,” demikian Freud
menyebutnya, merupakan upaya alam bawah sadar untuk melakonkan kembali
apa yang tak terselesaikan, supaya kita bisa “meluruskan”-nya. Dorongan alam
bawah sadar untuk menghidupkan kembali peristiwa masa lalu ini bisa menjadi
salah satu mekanisme yang bekerja ketika keluarga-keluarga mengulang trauma
tak terselesaikan pada generasi-generasi berikut.