Menjelang pagi, Bandung berubah menjadi kota yang tak lagi sama. Malam terasa sangat panjang dan lebih mencekam dari kelam. Para bandit, pemadat, tukang judi, bocah geng motor, begundal grafiti, semuanya berkeliaran bak tikus-tikus ketika air got meluap.
Di kota ini, Dipha adalah bocah berandalan yang mampu mengerjakan apa saja. Berjualan bacang di Asia Afrika, pelayan kafe di Braga, buruh angkut kertas di Pajagalan, ataupun buruh kain di Tamin. Apa pun ia lakukan untuk bertahan hidup. Kemampuannya untuk mengerjakan apa saja itu membawanya bertemu dengan seorang gadis misterius bernama Vinda yang ngotot minta dicarikan tempat tinggal dengan segala syarat yang tak masuk akal.
Seperti dipermainkan oleh takdir, satu-satunya tempat yang tersedia adalah kontrakan petak yang terletak tepat di seberang kontrakan Dipha. Mau tidak mau, Vinda akhirnya menempati kontrakan itu.
Vinda yang sangat mencintai Bandung begitu bertolak belakang dengan Dipha yang sudah mengenal betapa bobroknya kota itu ketika menjelang pagi. Asia Afrika, Braga, Dago, Kalipah Apo, Astana Anyar, Banceuy, Jalan ABC, dan seluruh jalan-jalan tikus di Kota Bandung menjadi saksi tumbuhnya perasaan di antara keduanya.
Namun, sayangnya mereka berdua kerap lupa, bahwa sejatinya, oleh-oleh paling khas dari Kota Bandung adalah: patah hati.