Sebagai negara multikultural, Indonesia kini memiliki berbagai tantangan akibat masifnya pengaruh globalisasi terhadap warisan budaya. Salah satu warisan budaya yang terdampak adalah kesenian tradisional Benjang Gelut yang berasal dari Kecamatan Ujungberung, Kota Bandung, Jawa Barat. Pengaruh globalisasi secara perlahan terus mendisrupsi eksistensi dan minat masyarakat terhadap kesenian tradisional Benjang Gelut. Jika hal tersebut terus dibiarkan, maka akan berlanjut kepada risiko kepunahan. Ini perlu menjadi sorotan karena akan mengancam identitas masyakarat Ujungberung itu sendiri. Selain itu, fenomena yang terjadi adalah maraknya penggunaan media digital dalam kehidupan masyarakat, khususnya remaja yang melek akan teknologi. Akan tetapi sejalan dengan kemajuan tersebut, tidak banyak diiringi oleh media yang mengangkat kesenian daerah, dalam konteks ini Benjang Gelut. Oleh karena itu, perancangan film fiksi Benjang Gelut dapat menjadi upaya yang relevan untuk kembali mengenalkan kesenian Benjang Gelut kepada masyarakat Bandung. Perancang sebagai penata kamera bertanggung jawab atas seluruh aspek visual, mulai dari pra-produksi hingga pascaproduksi. Pra-produksi mencangkup konsep dengan merancang breakdown shot, storyboard, dan equipment list. Kemudian di tahap Produksi bertugas memimpin kru pengambilan gambar dan bekerja sama dengan sutradara sebagai pengarah utama. Lalu di Pascaproduksi, peran penata kamera di tahap ini hanya sebatas jika diperlukan oleh Penyunting untuk memastikan urutan shot. Perancangan ini menggunakan metode Kualitatif, dengan teknik pengumpulan data melalui observasi, wawancara, studi pustaka, dan kuesioner sebagai data pendukung, serta menerapkan metode analisis Konten pada karya sejenis. Perancangan ini diharapkan dapat menarik minat remaja Bandung untuk lebih mengenal Benjang Gelut melalui keindahan penataan kamerayang disajikan dalam film.