Betawi, sebagai sebuah suku terkenal karena kekayaan budaya dan perlawanan terhadap penjajah kolonial. Keistimewaan ini mendorong sineas film Indonesia untuk fokus pada suku Betawi, menggali karakter, sejarah dalam genre film. Namun, seiring perkembangan industri film di Indonesia, berbagai representasi masyarakat Betawi mulai muncul. Film, sebagai media hiburan berpengaruh, memainkan peran kunci dalam membentuk beragam perspektif yang mengelilingi masyarakat tersebut. Sayangnya, dalam film-film Indonesia, representasi Betawi cenderung bersifat negatif, menggambarkan mereka sebagai kelompok yang kurang berdaya, gemar berfoya-foya, tertinggal dalam aspek ekonomi, dan dianggap malas. Film "Get Married" yang ditayangkan pada tahun 2007 dengan fokus pada tema pernikahan dalam konteks keluarga Betawi, berhasil merepresentasikan Betawi. Dalam beberapa penelitian yang mengangkat tema Betawi, terdapat studi yang menjelaskan bagaimana pembuat film di Indonesia menggunakan representasi tersebut untuk mencerminkan realitas kehidupan sosial masyarakat Betawi di Indonesia. Akibatnya, terbentuk pemahaman bahwa Betawi dianggap sebagai kelompok yang terbelakang, malas, kurang terdidik, dan terutama terkait dengan pekerjaan pernikahan. Peneliti berusaha untuk melihat Betawi dari sudut pandang yang berbeda, menggambarkannya sebagai suku yang tidak terikat dengan gambaran umum yang telah dibentuk oleh masyarakat. Dalam pendekatan ini, peneliti akan menggunakan teori semiotika Roland Barthes, yang fokusnya adalah bagaimana Betawi digambarkan dalam film dan juga untuk menggali makna mitos seputar Betawi, dengan tujuan memahami kebenaran di balik representasi Betawi dan motif yang melatarinya.