Semenjak bertemu dengan si Pelaut dan patah hati pada Uni Fatimah, makin tak terbendung tekad Karim—seorang pemuda asal Batang Arau— untuk menjadi bandar dagang kopi ternama. Bujang itu pun nekat merantau ke Parahyangan, sarang mutiara hitam. Dalam perjalanan ke Pulau Jawa, ia bertemu rupa-rupa manusia. Ote—budak kapal dari Nias, Ujang—kusir kereta pos, Euis—tabib perempuan dari Tatar Sunda, Kang Asep—kepala cacah, Raden Arya Kusumah Jaya—administratur perkebunan kopi, dan Satria—mandor perkebunan. Karim melarung dari mulut hikayat kopi dalam putaran candu masuk ke pusaran kisah benih pedih kebun kopi.
“Kelak sajikan untuk awak secangkir kopi yang tersohor itu, buat awak paham mengapa dunia menyetarakannya dengan emas,” ucap Ote saat berpisah dengan Karim.
Musim kikir memanggil para petani mengubur nyawa di bawah rumpun kopi. Musim ketika Karim menginjakkan kaki ke Parahyangan.
Ini bukan sekadar kisah mengenai kopi, ini sejarah kemanusiaan di Parahyangan pada masa Tanam Paksa, zaman saat kopi Jawa berhasil menembus pasar dunia dan menahbiskan minuman gelap tersebut sebagai java.