Bagaimanakah cara yang ‘objektif’ untuk membaca dan memaknai teks dan tradisi keagamaan? Haruskah modernitas dinilai oleh tradisi atau sebaliknya, tradisi yang diukur oleh modernitas? Demikian salah satu ajakan menggelitik yang dilontarkan oleh penulis buku ini—seorang pemikir serius yang membangun karier intelektualnya di Yogyakarta dan salah seorang aktivis yang terlibat intens dengan dinamika organisasi Islam modern, Muhammadiyah, serta peminat filsafat—yang saat ini menjadi Guru Besar dalam Ilmu Filsafat di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Membaca dan memaknai teks keagamaan pada zaman modern adalah satu di antara sekian problem yang dicoba diangkat oleh buku menarik ini. Di pihak lain, dalam upaya memecahkan problem tersebut, di sepanjang halaman buku ini, kita dapat menemukan pelbagai refleksi penulis dalam membangun teoretisasi atas fenomena gerakan pembaruan pemikiran keislaman yang di dalamnya terjadi tarik-menarik antara dua kutub: modern versus tradisi.
Akhirnya, dalam bahasa yang cair dan bernas, keseluruhan buku ini, meskipun disusun dari pelbagai pemikiran penulisnya yang merentang jauh yang pernah dipublikasikan dalam kesempatan yang berbeda-beda, mengguratkan satu hal penting: pemetaan. Di tengah kesimpangsiuran pelbagai “identitas” Islam yang dijajakan oleh banyak cendekiawan Muslim Indonesia akhir-akhir ini, buku ini seperti memberikan arah yang jelas. Setidaknya, pemetaan wacana keislaman yang dilakukan penulis buku ini merupakan bagian dari agenda ijtihad dan tajdid masyarakat kontemporer yang mencoba mengubah paradigma keagamaan dari sekadar gerakan pembaruan yang cenderung menafikan isu-isu strategis untuk menempatkan nilai-nilai universal dari norma Islam ke arah sebuah gerakan yang benar-benar memperhitungkan, antara lain, aspek moralitas, estetika, ekologi, ekonomi, hak-hak asasi manusia, serta relasi pria dan wanita.
Inilah, mungkin, model dinamika Islam kultural yang ingin ditunjukkan kepada para pembaca buku ini.