Agama jika dipahami secara mendalam dan komprehensif
akan melahirkan sifat humanis, toleran, dan menghormati
orang lain. Dengan demikian, yang dibangun tidak hanya pemahaman kemajemukan semata, melainkan pemahaman
yang sesuai dengan konteks kekinian, tentu diambil dari ajaran agama yang utuh. Dalam Islam kita diajarkan oleh Allah sebuah penghormatan yang besar untuk menghormati yang lain dari kita, “tidak ada paksaan dalam beragama...”,
“untukmulah agamamu, dan untukkulah agamaku …”, “kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu: maka barangsiapa
yang ingin beriman hendaklah beriman”.
Buku ini dihadirkan atas kegelisahan terhadap kondisi bangsa yang semrawut, khususnya masalah keberagamaan, keindonesiaan, kebudayaan, politik, dan sosial. Rumi mengatakan, “Ini semua bukan manusia, hanya wajah-wajah manusia yang mereka miliki, budak-budak perut, korban-korban hawa nafsu.” Laik dikatakan, petinggi-petinggi, para politisi, dan pendukungnya adalah “korban tabrak lari hawa nafsunya sendiri”. Mereka kehilangan kesadaran yang mabuk kekuasaan. Mereka tidak menyadari ada konsekuensi buruk dari perilaku tersebut, yakni “dis-nilai”, “dis-order”, “dis-harmonisasi”, “dis-organisasi”, dan “dis-integrasi”. Namun, di
sisi lain buku ini pun menghadirkan harapan. Penulis banyak berharap pada dunia pendidikan agar menanamkan nilai-nilai yang mulai terkikis tersebut, baik di pendidikan umum maupun pendidikan pesantren sebagai solusi kebangsaan.