Kehidupan kadangkala menyuguhkan jalan yang pelik, antara masuk ke dalam sumur atau gua? Ke mulut buaya atau harimau? Mencebur ke laut atau danau?
Seperti halnya yang dialami Ahvash, ia hendak membahagiakan istrinya untuk menerima kenyataan atas kemandulannya, namun ia pun memikirkan perasaan orang tua yang mengharapkan keturunan bagi pewaris pesantren dengan 2000 santri, karena ia adalah anak tunggal.
Lalu poligami itu benar benar terjadi dalam hidupnya, dan justru Mazarina sendirilah yang memilihkan madunya diantara santri Tegalklopo.
Meski batin Ahvash tidak cenderung pada istri kedua, meski Meysaroh selaku madu selalu tawadluk dan sopan, meski Mazarina sejatinya berhati baik dan berupaya tawakkal, tapi masalah kompleks tetap saja muncul dan sulit dihindari.
Pergulatan batin hari demi hari selalu kental mewarnai. Ketiganya dituntut untuk menjadi manusia yang baik di tengah kemelutnya hati, mengalahkan diri sendiri karena kenyataannya tidak ada peran antagonis disini.
Semuanya adalah manusia berakhlak dan terdidik. Tapi tetap saja tidak lepas dari cobaan penyakit hati.
Hidup mereka nyatanya tidak semulus jalan tol. Tidak secerah langit di pagi hari, akankah poligami itu tetap di teruskan? Atau kah di pertahankan? Sejauh apa mereka berusaha?
Jika harus memilih, siapakah yang akan Gus Ahvash pilih? Mampukah dia melakukan itu?
Novel ini bukan barisan anti atau pro poligami. BUKAN!
Ini adalah refleksi kehidupan agar kita belajar adil dan proporsional dalam memandang sesuatu.