Saat SMP, Azna pernah menyaksikan temannya melahirkan di dalam kelas. Kejadian tersebut meninggalkan sedikit trauma, membuat dia mulai mengasingkan diri dari makhluk berjenis laki-laki. Bahkan di semester awal SMA, bersama dua sahabatnya, dia mengajukan ekskul Anti Pacaran pada pihak sekolah guna mencegah kejadian yang pernah menimpa temannya terulang.
Seperti melempar bumerang yang kemudian berbalik arah. Ide anti pacaran itu menjadi abu-abu ketika Farah, salah satu sahabat yang juga penggagas ekskul tersebut, mulai berhubungan kembali dengan laki-laki yang pernah dekat dengannya saat SMP. Lalu, debar-debar yang kerap dirasakan Azna setiap kali melihat Reksa, si ketua kelas, latihan panahan di sekolah semakin membesar meskipun selama ini terus dia tekan.
Mendapati kenyataan bahwa dirinya sendiri merasakan ketertarikan terhadap lawan jenis, bisakah Azna tetap pada prinsipnya untuk tidak pacaran?