Alina Suhita, perempuan dari trah darah biru pesantren dengan moyang pelestari ajaran Jawa, sejak remaja terikat perjodohan. Ketika hari pernikahan tiba, Gus Birru suaminya, menumpahkan kekesalan dengan tidak mau menggauli Suhita. Tinggal dalam satu kamar tapi tempat tidur terpisah sejak malam pertama pernikahan. Tanpa perbincangan apalagi kehangatan, namun bisa bersandiwara sebagai pasangan pengantin mesra ketika di luar.
Alina Suhita begitu patuh. Khas tawadhu' santri. Baginya, mikul duwur mendem jeu menjadi pegangan yang mutlak diterima dan dilakukan tanpa reserve. Gejolak hasrat seorang istri yang disambut penolakan terang-terangan suami, tepat ketika perempuan masa lalu suami muncul menjalin komunikasi layaknya sepasang kekasih, adalah penderitaan yang mengiringi konflik batinnya selama beberapa purnama.
Namun yang tersemat dalam nama Suhita, adalah kekuatan tiada bandingan. Suhita menelan semua getir itu sendirian. Merebahkannya di dalam sujud, melantunkannya dalam ayat-ayat Tuhan yang ia hapal seluruhnya, juga tengadah doa di tempat orang-orang suci disemayamkan.
Mustika Ampal dan Pengabsah Wangsa, menjadi ujung dari kisah cinta rumit dan dramatis ini. Bahwa cinta adalah kesediaan total untuk menerima takdir serta melapaskan diri dari segala hal yang berpotensi memusnahkan bahagia.