(ketenteraman, kedamaian, keutuhan diri, kepedulian terhadap sesama) kini dan kelak menjadi tujuan final manusia beragama. Maka, iman perlu bertumbuh dari dan berakar dalam pengalaman sehari-hari yang direfleksikan sampai pada tataran religiositas. Artinya, dikaitkan dengan misteri-misteri terdalam kehidupan.
Lebih lanjut Bartolomeus menjelaskan, refleksi atas pengalaman hidup eksistensial secara otomatis juga akan membuat orang mempertimbangkan kembali bermacam wahyu dan kebenaran dari agama-agama lain. Iman yang bertumbuh dan mencari kematangannya memang akan bertualang menelusuri keluasan dan kompleksitas kehidupan.
Terburu-buru memberi cap atheis, agnostik, sekuler, kafir, bidaah, dan sebagainya pada orang-orang yang bertualang ini hanya akan membuat mereka justru alergi terhadap institusi agama. Karena itu, agama sebagai institusi yang mengelola iman juga perlu menyediakan ruang untuk petualangan batin seperti itu. Apalagi pada zaman ketika kecerdasan dan kemandirian individu tidak bisa lagi dimungkiri (hlm 97).
Sebagaimana dijelaskan Bambang Sugiharto dalam pengantar buku, tulisan-tulisan di sini merupakan refleksi kritis atas berbagai fenomena penting praksis kehidupan beragama saat ini. Diawali dengan mendudukkan agama dalam konteks abad ke-21 yang penuh kontradiksi, berlanjut ke posisi rasionalitas, wahyu, sains, imaji, dan kurban agama-agama. Pada bab lain, pembahasan agama dilihat korelasinya dengan berbagai bidang besar dalam hidup. Buku ini bisa bisa menjadi bacaan untuk melihat persoalan agama yang belakangan kerap mencederai praksis kehidupan.