Buku ini berisi 45 esai tentang Desain, Bandung, dan Budaya Sunda dari Jamaludin atau lebih dikenal dengan panggilan akrab Mang Jamal yang dalam kesehariannya berkecimpung dalam dunia akademis sebagai dosen di Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Nasional (Itenas), Bandung.
Di dunia akademis dan desain praktis, Mang Jamal memulainya dengan menempuh pendidikan di Jurusan Desain Studio Desain Interior Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB, setelah lulus ia sempat bekerja di Jakarta sebagai desainer interior hingga menjadi dosen Desain Interior hingga sekarang. Sambil mengajar Mang Jamal terus melanjutkan studinya hingga ke jenjang S-3 di Program Ilmu Seni Rupa dan Desain ITB dan memperoleh gelar Doktor Ilmu Seni Rupa dan Desain pada tahun 2011
Mang Jamal juga dikenal di dunia sastra, novel debutannya Lousiana-Lousiana (Grasindo 2003) yang cukup sukses di pasaran membuatnya ketagihan menulis novel hingga melahirkan 4 buah novel lainnya. Tahun 2007 Mang Jamal menulis buku teks pengantar Desain Mebel yang diterbitkan oleh Kiblat Buku Utama.
Selain menulis novel dan buku teks Mang Jamal juga produktif menulis esai-esai di harian Kompas dan media-media cetak lainnya tentang Desain, kota Bandung, dan budaya Sunda. Kini esai-esai tersebut dibukukan dalam sebuah buku kumpulan esai ini.
Buku ini dibagi ke dalam 4 bagian berdasarkan tema tulisan-tulisannya, yaitu Desain, Bandung, Budaya Sunda, dan Esai Basa Sunda. Walau banyak bergelut di dunia akademis namun karena Mang Jamal juga adalah seorang novelis maka semua esainya dibuat dengan kalimat-kalimat yang enak dibaca dengan disisipi humor khas penulis disertai kritik-kritik yang membangun.
Di bagian desain setelah membahas mengenai hikayat kursi yang dikupas secara menarik, kritik Mang Jamal menohok langsung ke jantung pusat pemerintahan yaitu Istana Negara dan Istana Merdeka. Tentunya kita semua bangga dan kagum dengan desain Istana Presiden yang berdiri dengan megah dan kokoh selama ratusan tahun. Namun dibalik keindahan dan kekokohan kedua istana itu, Mang Jamal merasa terusik akan diapakainya bekas Istana Gubernur Jenderal Belanda itu sebagai kantor pemerintahan.
Mari sejenak lupakan "kebanggaan nasional" terhadap kedua gedung megah itu dan cobalah menggunakan cara pandang seperti ini: kedua gedung itu dulunya adalah rumah dinas sekaligus kantor Gubernur Jenderal pemerintahan kolonial Belanda. Para gubernur jenderal itu bersemayam di sana sebagai perpanjangan tangan Kerajaan Belanda.......untuk melaksanakan administrasi pemerintahan negara jajahan bernama Hindia Belanda.
Ironisnya, sekarang bangunan itu dipakai sebagai kediaman resmi Presiden Republik Indonesia, presiden dari negara yang merdeka dan berdaulat..... Apa betul, kepala negara bangsa sendiri yang adalah lambang negara merdeka berkantor di bekas kediaman dan kantor gembong penjajah negeri ini? (hlm 25)
Dalam gugatannya ini, sebagai seorang desainer interior yang peduli dengan budaya bangsa sendiri Mang Jamal menganjurkan agar kantor Presiden RI berkantor dalam gedung dengan langgam bangunan khas Indonesia.
Untuk bangunan kantor presiden, begitu banyak langgam yang dimiliki oleh setiap daerah di Nusantara, tinggal memilih atau mencampurnya bila perlu, atau memilih salah satu berdasar karakter yang paling mewakili seperti terpilihnya bahasa Melayu Riau yang lalu dijadikan bahasa persatuan: Bahasa Indonesia. Kita bisa, kalau mau!
(hlm 27)
Wacana memindahkan Ibukota Indonesia juga tidak luput dari pengamatan Mang Jamal. Selain tentang pemindahan lokasi ibukota, Mang Jamal juga memiliki gagasan yang menarik antara lain menyebarkan setiap kementrian ke pulau-pulau sesuai dengan potensi dan prioritas pembangunan wilayah. Misalnya kantor Kementrian Pariwisata dan Budaya di Bali atau di Samosir, Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral di kawasan pertambangan seperti di Riau, Kalimantan, Sulawesi, dll. Selain lokasi kementrian penulis juga mengusulkan agar bangunan desain kementrian dibuat berdasarkan desain tradisional atau disesuaikan dengan bidang pekerjaan atau fungsinya. Gedung Kementrian Perdagangan menggunakan model pasar, gedung Kementrian Perindustrian model pabrik, Gedung Kementrian Perhubungan menggunakan model kereta api, dll.
Selain tentang istana dan ibukota, di bagian desain terdapat juga esai-esai lain antara lain tentang Wajah Arsitektur Indonesia Modern, Aristektur Rumah Ajip Rodisi, tentang Gedung Sate, dan laporan penulis tentang kunjungannya ke rumah Schoder di Utrect, Beland, sebuah ikon gerakan modern dalamdunia arsitektur yang telah ditetapkan oleh Unesco sebagai Warisan Dunia (World Heritage)
Di Bagian Bandung, kita akan banyak menemukan kiritk dan usulan atas penataan di kota Bandung khususnya di jantung kota Bandung di era 2003-2010 antara lain tentang penataan Alun-alun, Braga, gedung eks Palaguna, dll. Salah satu yang menarik adalah bagaimana Bandung yang mendapat julukan Parijs van Java benar-benar dibandingkan dengan kota Paris, Perancis dalam esai berjudul Mencari Paris di Bandung. Selain itu ada juga satu esai tentang sebuah monumen yang mungkin terlupakan orang yaitu Monumen Perjuangan (Monju) Jawa Barat di Jl Dipatiukur, Bandung.
Monju di Bandung berbentuk tumpukan beton melengkung sebagai abstraksi rumpun bambu dan enam diorama di museum bawah tanah, Monju hanya ditandai dengan berbagai ringkasan peristiwa perjuangan dalam bentuk relief pada salah satu dindingnya. Di mata Mang Jamal Monju indah sebagai penghias kota tetapi kering dari kenangan terhadap perjuangan yang sebenarnya karena tidak adanya nama-nama pejuang yang ditampilkan di monumen tersebut seperti halnya monumen Arch de Triomphe di Paris yang mengukir nama-nama jenderal yang pernah berjuang di bawah komando Napoleon Bonaparte.
Monumen Perjuangan Rakyat Jawa Barat, sesuai namanya adalah monumen untuk mengenang perjuangan rakyat Jawa Barat. Yang namanya perjuangan dilakukan oleh manusia yang tentu saja memiliki nama. Adalah sebuah kewajaran apabila nama-nama mereka diabadikan di monumen. Dinding monumen dapat dilengkapi dengan nama-nama pejuang...... Dengan begitu Monju akan memiliki nilai lebih, membumi dan melekat di hati rakyat Jawa Barat.
(hlm 114-115)
Di bagian ketiga, penulis menyuguhkan 14 esai tentang Budaya Sunda antara lain tentang Rumah Gaya Sunda, ajaran karuhun, estetika Sunda, arsitektur Sunda, dll. Yang paling serius adalah essai berjudul Konsep Estetika dalam Budaya Rupa Sunda yang merupakan naskah orasi ilmiah penulis pada acara Dies Natalis Itenas ke 40 (2012). Tidak hanya hal-hal serius, di baian ini ada juga essai yang menggelitik antara lain esai berjudul Urang Sunda Jadi Presiden yang didasari munculnya kesadaran untuk meningkatkan peran orang Sunda di pentas politik Nasional.
Buku ini akhirnya ditutup dengan 7 buah esai berbahasa Sunda yang isinya berupa pengalaman penulis berada di Paris dan Belanda, usulan museum kota Bandung, dan tentang budaya dan filosofi masyarakat Sunda. Karena ditulis dalam bahasa Sunda maka nuansa dan greget esai-esai budaya kesundaannya akan terasa lebih menggugah pembacanya.
Yang agak disayangkan dalam buku ini adalah esai-esai tentang Bandung. Esai-esai tentang Bandung ditulis penulis dalam kurun waktu 2003-2010, sedangkan buku ini terbit pada akhir 2017 dengan demikian terjadi kesenjangan selama 7 tahun, padahal penataan dan pembangungan kota Bandung berubah dengan cepat. Tentunya bagian ini akan menjadi lebih baik jika penulis mengupdate beberapa esai tentang Bandung sesuai dengan kondisi kekinian.
Terlepas dari hal di atas, sebagai sebuah buku yang berbicara tentang Desain, Bandung, dan Budaya Sunda, buku ini berhasil menautkan ketiga unsur tersebut. Penulis yang notabene orang Sunda yang lama tinggal di Bandung dan berkecimpung dalam dunia desain secara membuat kita bisa melihat bagaimana Desain, Bandung dan Budaya Sunda dilihat dari sudut pandang dan orang Sunda sehingga tak belebihan jika Prof. Dr. Setiawan Sabana, MFA (Guru Besar Fakultas Seni Rupa & Desain ITB) dalam kata pengantar buku ini menilai bahwa tulisan dalam buku ini adalah tulisan yang kritis, kreatif, inspiratif, dan bergaya Sunda.