Khalayak memahami pers sebagai satu di antara empat pilar demokrasi. Posisinya sejajar, dengan tiga pilar lainnya, yakni Eksekutif, Yudikatif dan Legislatif. Pers, menempatkan diri sebagai pengontrol sosial yang selayaknya mendominasi suara rakyat untuk Indonesia yang jauh lebih baik. Kontrol sosial juga bermakna sebagai pengawas kinerja pemerintah yang terkadang luput dari pengawasan konstituen atau rakyat secara langsung. Juga, pers merupakan agent of social change.
Seyogianya dengan asumsi tersebut pers dibangun berdasarkan narasi kebenaran serta integritas yang tidak mudah pudar. Sebagai guide rakyat Indonesia, pers telah memosisikan diri sebagai pelayan bangsa, berfungsi mencerdaskan dan mendidik, membawa keajegan transparansi informasi mengenai seluk beluk dunia nyata. Menjadi abdi rakyat yang juga berperan sebagai kontrol kekuasan. Sehingga tidak berlebihan, ketika disebut pers merupakan ruang pahlawan tanpa penghormatan. Wilayah bahaya, teror bahkan tindak kekerasan terhadap wartawan terus menerus menghantui setiap peliputannya.
Tulisan singkat ini mencoba mengurai dinamika yang terjadi, bahwa simpul kebenaran, integritas, serta praktik jurnalisme damai seringkali menjadi bagian dari pola peliputan serta kualitas penulisan pewarta itu sendiri. Tapi bisa jadi sebaliknya, peristiwa damai bisa berpotensi menjadi konflik ketika kerangka damai tidak muncul dalam pemahaman jurnalis saat membuat karya jurnalistiknya. Melalui pemahaman teori konflik dari Johan Galtung pemaparan ilmiah ini dapat dipertanggungjawabkan secara akademik.
Kata Kunci: Integritas Jurnalis, Jurnalisme Damai, Konflik, dan Pers