JAKARTA, 18 MARET 1966, sekitar air mancur di mulut Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta. Presiden bertanya..., ”Katanya tadi sudah beres, kok begini?” Tidak ada jawaban. Beberapa pasukan RPKAD berada di pinggir jalan.... Pengawalan terdiri dari empat jip terbuka, dua di depan dan dua di belakang mobil Presiden (Soekarno). Para pengawal meloncat dari jip dan memposisikan diri di sekeliling mobil Presiden. Pasukan RPKAD mengokang senjata. Maulwi Saelan loncat dari mobil dan bergerak ke arah pasukan RPKAD sambil berteriak, ”Jangan tembak, jangan tembak, jangan tembak...”
Pengamanan Presiden sudah jadi persoalan sejak Indonesia merdeka, 17 Agustus 1945. Awalnya pengamanan dirasa cukup dilakukan beberapa polisi yang tergabung dalam Pasukan Pengawal Pribadi Presiden. Namun, setelah terjadi rangkaian percobaan pembunuhan Presiden Soekarno, dimulai dengan insiden penggranatan di Cikini, 1957, dibentuklah Tjakrabirawa pada 1962. Letnan Kolonel Maulwi Saelan, yang ketika itu bertugas di Makassar, ditunjuk sebagai Kepala Staf, dan selanjutnya menjadi Wakil Komandan Tjakrabirawa.
Posisi inilah yang membuat Maulwi Saelan berada di samping atau di dekat Bung Karno di saat-saat paling kritis dalam masa peralihan kekuasaan, 1965-1966. Ia pun berada di istana pada tanggal 4 Agustus 1965, ketika Bung Karno diserang stroke ringan, meski kemudian dapat pulih kembali.
Buku ini tak hanya bercerita tentang pengalaman Maulwi Saelan sebagai penjaga fisik Presiden Soekarno, sejarawan Asvi Warman Adam, Bonnie Triyana, Hendri F. Isnaeni, dan F. Mukthi juga menuturkan semangat perjuangan Maulwi Saelan sedari remaja untuk membela Tanah Air, sebagai penjaga Republik, juga penjaga Presiden agar terluput dari fitnah sejarah yang dilontarkan rezim penguasa Orde Baru.