Dalam film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, konsep matrilineal budaya Minangkabau menjadikan perempuan Minang berada dalam posisi yang setara dengan pria Minangkabau. Konsep matrilineal yang ditampilkan dalam film tersebut, tidak sejalan dengan paham pemerintahan yang dianut yaitu patriarki. Hal ini menjadikan posisi perempuan di Minangkabau tidak dominan dalam masyarakat. Dalam hal ini konsep patriarki masih banyak ditampilkan dalam film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Sehingga menimbulkan pertanyaan tentang representasi kebudayaan Minangkabau dalam Film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck dilihat dari sudut pandang feminisme. Selain dari sisi representasi kebudayaan Minangkabau, timbul pertanyaan tentang representasi feminisme dilihat dari kebudayaan Minangkabau. Penelitian ini fokus pada representasi dalam film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck khususnya dalam mise en scene, sinematografi dan dialog yang merupakan bagian dari unsur sinematik pembentuk film. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif deskriptif. Data diperoleh melalui data primer yaitu film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, serta data sekunder berupa buku, jurnal, wawancara dan website. Analisa kemudian dilakukan dengan menggunakan semiotika Roland Barthes yaitu sistem pemaknaan tataran ke-dua (Denotatif-konotatif). Adapun hasil analisis dari penelitian ini adalah, film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck merepresentasikan kebudayaan Minangkabau yang matrilineal yaitu melalui representasi anggo tanggo, Sahino Samalu, Sapikua Sajinjing, saiyo sakato. Dimana didalam kebudayaan tersebut terdapat representasi feminisme liberal abad ke-18 dan abad ke-19 yang direpresentasikan melalui adat.