Smart farming merupakan cara bertani yang pintar dengan memanfaatkan alat atau pengetahuan petani untuk mengelola lahan pertanian dengan efisien dan dapat meningkatkan keberlanjutan disektor pertanian. Akan tetapi, penggunaan smart farming masih tergolong rendah, terutama di wilayah seperti Surabaya dan Kediri. Tingkat adopsi di kalangan petani konvensional masih terbatas, yang sebagian besar disebabkan oleh rendahnya literasi digital serta keterbatasan infrastruktur teknologi. Kondisi ini menunjukkan adanya ketimpangan antara potensi teknologi dan kesiapan sumber daya manusia, yang dapat menghambat peningkatan efisiensi dan produktivitas pertanian. Selain itu, keterbatasan lahan membuat petani konvensional beralih dari pertanian konvensional ke adopsi smart farming .Di sisi lain, minimnya partisipasi generasi muda juga mengindikasikan lemahnya regenerasi petani, yang dapat berdampak pada keberlangsungan sektor pertanian dalam jangka panjang. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi adopsi smart farming dengan menggunakan model extended Unified Theory of Acceptance and Use of Technology (UTAUT). Penelitian dilakukan secara kuantitatif terhadap 179 responden yang terdiri dari potensial user petani konvensional, potensial user non-farmer yang merupakan orang yang berminat terhadap smart farming, dan petani smart farming di wilayah Surabaya dan Kediri. Data dikumpulkan melalui kuesioner yang disebarkan, serta dianalisis menggunakan metode Structural Equation Modeling (SEM). Hasil menunjukkan bahwa faktor seperti effort expectancy, social influence, facilitating conditions,dan intention to use memiliki pengaruh yang signifikan terhadap niat dan keputusan adopsi smart farming. Temuan ini memberikan landasan teoritis dan rekomendasi kepada potensial user non-farmer, potensial user petani konvensional dan petani smart farming. Serta, kepentingan untuk mendorong adopsi smart farming secara lebih inklusif.
Kata Kunci: smart farming, UTAUT, SEM, petani konvensional.