Berbagai beban berat yang disandangkan pada fungsi pendidikan seni seperti mengembangkan kemampuan dasar manusia dalam dimensi fisik, perseptual, intelektual, emosional, sosial, kreativitas dan estetik (Lowenfeld) ditengah keragaman budaya telah mengakibatkan kerancuan para pelaku pendidikan seni itu sendiri. Disatu sisi pendidikan seni diarahkan pada budaya lokal, disisi lain kegiatan seni mengimport budaya global. Dalam kenyataan di lapangan pendidikan seni dianggap kurang penting dibandingkan mata pelajaran lain akibatnya pendidikan seni cakupan materinya “sangat luas”. Beberapa penelitian mengetarai bahwa pendidikan seni tidak diberikan secara profesional karena pendidiknya tidak berlatar belakang pendidikan seni. Ketidak lengkapan sarana dan prasarana yang memadai termasuk sumber rujukan dan perlengkapan peralatan kesenian dalam penyelenggaraan pendidikan seni menjadi kambing hitam penyebab penghayatan dan pergaulan seni tidak mendalam dalam penggalian potensi dan pengembangan kreativitas seninya. Kesenjangan antara peraturan dan kebebasan, antara globalisasi dengan individualisasi, antara perubahan dan stabilitas, antara tradisional dan modern, antara profesional dan akademik, antara lokal dan global dan masih banyak lagi antara2 yang lain terjadi di lapangan. Permasalahan-permasalahan antara harapan dan kenyataan menuntut strategi inovatif dalam menentukan posisi pendidikan seni, sehingga situasi yang demikian chaos setidaknya dapat memenuhi “by design”, “by concept”, “by demand”, “by chance”, “by selfishness”