Ruang lingkup kebebasan dalam ranah Media Massa, seringkali terbentuk atas dasar
anomalisme. Islam, bahkan dalam al-Quran secara lugas memberikan pengarahan terkait
Media Massa, Penyiaran, Komunikasi, dan dalam kondisi khusus mengatur Kode Etik
Jurnalistik. Jurnalistik haruslah mengabarkan sebuah kejujuran yang memiliki
pertanggung-jawaban. Sebagaimana tertulis dalam al-Quran “Sesungguhnya yang
mengada-adakan kebohongan, hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada ayatayat
Allah, dan mereka itulah para pendusta” (an-Nahl: 105). Kebebasan, bagi warga
dunia di muka bumi ini merupakan hak potensial yang tidak dapat ditawar kadarnya.
Tetapi, Islam dengan segala kesempurnaannya telah menyusun sedemikian rumit terkait
etika kebebasan, yang juga merujuk pada estetika interaksi manusia. Majalah Charlie
Hebdo –dengan tagline sebagai surat kabar yang tidak bertanggungjawab—
memudahkan pembaca untuk berasumsi jika majalah tersebut bukan berdasarkan hak
kebebasan berekspresi. Melainkan, kebebasan yang digunakan untuk menumbuhkan
kebencian (mindless), bukan keramahtamahan (mindfullness). Gebner, sebagaimana
dikutip oleh Gabriel Wiemen dalam buku yang berjudul Communication Unreality
berargumentasi “Human beings are the only spesies that tell stories and live by stories
they believe” (2000: 76). Argumentasi Gebner menunjukkan bahwa realitas sosial tidak
dapat dihegemoni oleh kepentingan radikal personal. Jurnal ini mencoba menjelaskan
adanya korelasi sistematis tentang konsep kebebasan dan etika jurnalisme, yang
dibangun oleh Islam sebagai Agama penjunjung tinggi multikultural, yang demikian
menjadi kritik pemikiran atas kebebasan satir Majalah Hebdo di Paris. Kata Kunci:
Jurnalisme Islami, Kebebasan Pers, Charlie Hebdo