ࡱ> _!bjbj,E,E 46N/N/ @ @ 8w wwwwwww$y[|@4w'''4wIwKdKdKd'FwKd'wKdKd2rs#V>~c|rv_w0wr|c|(s|s''Kd'''''4w4wKd'''w''''|'''''''''@ `:!TEKNOLOGI RUANG SIBER SEBAGAI SOLUSI PEMERINTAH PARTISIPATIF CYBERSPACE TECHNOLOGY AS PARTICIPATIVE GOVERMENTAL SOLUTION Muhammad Sufyan Abdurrahman Pengajar Ilmu Komunikasi, Universitas Telkom, Bandung Jl. Telekomunikas, No. 1 Ters. Buah Batu. Bandung sufyan@ypt.or.id Abstrak Kehadiran teknologi baru, sebagaimana konsep dasar teknologi sejak zaman pra-sejarah, umumnya akan memberikan bantuan bagi manusia. Termasuk di dalamnya kehadiran teknologi Siber, yang selain menghadirkan fenomena konvergensi media dan komunitas maya, juga memungkinkan kemampuan pemimpin politik membangun realitas dengan publik secara keseluruhan. Lebih jauh dari itu, jika dilakukan secara konsisten dapat membangun partisipasi publik yang kuat. Salah satu peranti komunikasi publik era Siber adalah media sosial, seperti Twitter. Ketika kemudian tercipta bermacam efek seperti membangun kontruksi realitas hingga memunculkan partisipasi publik melalui perantaraan peranti ini, maka di saat bersamaan terjadi proses politik Siber, sehingga kebermanfaatan teknologi sebagai alat bantu manusia makin terasakan. Sebagaimana argumentasi Marshall McLuhan (1962), terkait the world is flat merupakan antitesis dunia realitas yang berjarak dan berbatas waktu. Teknologi kemudian membiaskan realitas itu. Dalam tulisan ini, melalui pendekatan kualitatif dan peneliti melihat realitas secara kritis, maka penelitian difokuskan memberikan penjelasan tentang komunikasi politik melalui teknologi Siber sebagai solusi pemberdayaan masyarakat. Ridwan Kamil, melalui ruang maya berhasil melakukan transformasi komunikasi publik tanpa berbatas waktu dan ruang. Tulisan ini berhasil menjelaskan adanya penetrasi komunikatif, melalui twitter. Kini public spheere menjadi new public spheere. Kata Kunci: Politik Siber, Teknologi, Komunikasi Politik Abstract The presence of new technologies, as well as the basic concepts of technology since pre-history, generally will provide assistance to people. Including the presence of cyber technology, which in addition to presenting the phenomenon of media convergence and virtual communities, it also allows the ability of political leaders to build a reality with the public as a whole. Further than that, if done consistently can build a strong public participation. One public communication device siber era is social media, such as Twitter. When then created a variety of effects such as building construction of reality to raise public participation through the mediation of these devices, then at the same time a process of siber politics, so the usefulness of technology as a tool for people more felt. As Marshall McLuhan's argument (1962), related to the world is flat is the antithesis of the real world within bounded and timeless. Technology then refract reality. In this paper, through a qualitative approach and researchers see the reality critically, the study focused on providing an explanation of political communication through cyber technology as a solution to community empowerment. Ridwan Kamil, through virtual space managed to transform public communication without bounded time and space. This paper describes the penetration communicative success, via twitter. Now public spheere into new public spheere. Keywords: Political siber, Technology, Political communications PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Kehadiran teknologi baru, yang ditopang disiplin ilmu teknologi informasi dan komunikasi, telah menciptakan berbagai perubahan terutama di bidang ilmu komunikasi dan ilmu politik. Media konvensional sebagai representasi primer ilmu komunikasi massa yang selama ini berpusar dalam dominasi kekuasaan dan modal tertentu, kini diimbangi kehadiran aplikasi teknologi baru seperti media sosial. Kehadiran media baru ini selain mencatatkan fenomena konvergensi media dengan teknologi informasi, juga makin menegaskan eksistensi teori sibermedia. Bahkan, dalam tataran praktis, dari media siber ini akan tercipta pula virtual community, yakni masyarakat maya yang memiliki karakter interaksi hampir sama masyarakat nyata, hanya saja mereka tidak memiliki struktur dan pola komunikasi konvensional serta kontrol sangat kecil ke sesama anggota komunitas tersebut. Virtual Community ini terbangun dari jaringan-jaringan sosial yang dibuat oleh komunitas itu sendiri, dengan ranah mereka antara lain media sosial, blog, dan aplikasi internet lainnya. Menariknya, komunitas ini tak bisa ditentukan demografi dan geografinya, sebab identitas mereka adalah hak privasi mereka sendiri. Mengacu kehadiran masyarakat baru ini, kajian ini hendak turut serta membangun studi baru yang disebut politik siber. Jika pada era lalu, aktivitas pemasaran politik dilakukan manual, maka hari ini kita semua menjadi saksi bahwa aktivitas politik telah banyak berkutat di ranah siber dalam membangun kesadaran politik bagi masyarakat. Tulisan ini berupaya menjelaskan transformasi media komunikasi yang digunakan secara mainstream, twitter merupakan bentuk baru dari public spheere. Menggantikan komunikasi konvensional yang mengharapkan pertemuan secara tatap-muka. Adanya media baru, komunikasi yang berlangsung tidak bergantung pada pertemuan fisik, melainkan bertransformasi dengan komunikasi maya (cyber communication). Ridwan Kamil, dalam tulisan ini menjadi objek menarik untuk diulas lebih jauh atas keterlibatannya membentuk new public spheere. Twitter, menjadi official tool untuk menemui publik, tidak saja warga bandung, tetapi di luar Bandung sekalipun. TINJAUAN PUSTAKA Memahami Teknologi Ruang siber dan Politik Konsep Teknologi Bagi Martin Heidegger (1995), teknologi adalah alat. Karenanya, sebagai pijakan awal, teknologi bukanlah frase yang identik abad modern. Sudah sejak zaman prasejarah, manusia menggunakan teknologi seperti batu, kayu, atau logam, guna menjadi senjata, alat masak, alat transportasi, dan banyak lagi. Bahkan, jika kita telusuri literasi terkait, sebelum manusia prasejarah berkembang menuju spesies homo erectus/manusia yang berdiri tegak, terlebih dahulu mereka mengalami fase homo habilis yakni manusia yang menggunakan alat. Merujuk pemikiran Neil Postman (1931-2003) dalam Amusing Ourselves to Death: Public Discourse in The Age of Show Business (1985), teknologi dalam bentuk kemutakhiran apapun, tidak pernah mampu menggantikan nilai kemanusiaan. Menurut Postman, ada lima konsep terkait alat bantu manusia dalam bentuk teknologi. Pertama, keberadaan teknologi baru dikatakan sebagai pertukaran Faustian. Ketika teknologi baru datang, maka ada keuntungan baru sekaligus komponen lama yang diambil dari kehidupan manusia. Kedua, keuntungan yang didapat dari teknologi baru tidak pernah merata untuk seluruh populasi. Ada yang sangat diuntungkan, cukup untung, tapi juga yang dirugikan. Ketiga, teknologi mengubah cara berpikir kita tentang dunia. Keempat, perubahan yang disebabkan teknologi adalah perubahan yang bersifat ekologis. Kelima, teknologi dapat berkembang menjadi mitos tersendiri. Selain Neil Postman, pemikiran soal konsep teknologi berasal dari Martin Heidegger (1889 1976), filsuf Jerman, dalam salah satu karyanya berjudul The Question Concerning Technology (1954). Menurutnya, teknologi pada dasarnya melakukan pembingkaian (enframing; gestell) terhadap pandangan kita akan dunia. Melalui teknologi, kita melihat alam sebagai sesuatu yang harus dikuasai dan dimanipulasi. Jadi, sekali lagi melalui teknologi, manusia berhasil mengungkap sesuatu yang tadinya gelap jadi terang. Namun harus diakui, lanjutnya, ketersibakan ini sekaligus juga ketertutupan di sisi yang lain. Heidegger memberi contoh bagaimana keberadaan pembangkit listrik di Sungai Rhine telah mengubah fungsi dari sungai tersebut menjadi sebuah energi untuk kehidupan manusia. Akan tetapi, di sisi lain, sungai sebagai sebuah penampakan alam yang utuh menjadi tersembunyi di waktu yang sama. Konsep Ruang Siber Sebagai Medium Komunikasi Politik Isitilah media siber pada dasarnya istilah lama yang telah digunakan jauh sebelum Internet muncul. Semula, media siber digunakan untuk penyebutan pada kajian media konvensional yakni televisi dan radio. Seiring perubahan teknologi, maka sibermedia bergeser digunakan oleh Internet. Ronald Deibert (1997), ilmuwan dalam bidang Hubungan Internasional memberikan pendapatnya tentang sibermedia atau hypermedia: Not only captures the convergence of discrete technologies, it also suggests the massive penetration and ubiquity of electronic media characteristic of the new communications environment the prefix hyper (meaning over or above) emphasizes two central characteristics of that environment: the speed by which communications currently take place, and the intertextuality or interoperatibility of once-discrete media (pp. 114-115). Meskipun ide-ide Deibert tentang sibermedia dirumuskan sebelum munculnya YouTube, Facebook dan Twitter, namun terlihat jelas bahwa perkembangan baru ini memperkuat kemudahan dan keluwesan pergerakan informasi digital antar berbagai media (convergence concept). Telepon genggam, tweets, surel, jaringan sosial, pesan teks, kamera digital, video online, surat kabar elektronik, dan televisi, dengan demikian membentuk lingkungan yang komunikatif. Penjelasan ini sekaligus sebagai kritikan terhadap teoritisi lama dalam rumusan media massa, pada saat dunia digital belum muncul media massa masih dikelompokkan dalam satu wilayah, yakni televisi, radio, surat kabar dan film. Namun sekarang, ketika era digital menguasai teknologi komunikasi, perumusan media massa era lama tidak lagi relevan digunakan untuk era konvergensi. Munculnya ruang siber merupakan lompatan kualitatif setiap orang dalam hal pencarian, mengakses, memproduksi, dan bereaksi terhadap informasi yang diterima. Ruang Siber ini juga memperluas akses ke alat komunikasi era digital melalui teknologi komunikasi. Kesimpulannya, ruang baru berbentuk teknologi media Siber ini lebih partisipatif. Sebab, sejak proses arus komunikasi di beberapa arah, dan karena peran produsen dan penerima informasi yang telah diacak, dan karena lebih banyak orang sekarang secara teoritis mampu membentuk sebuah pesan, maka kita dapat mengharapkan banyaknya wacana timbal balik dalam budaya masyarakat. Sementara itu, seiring perubahan demokrasi di Indonesia, komunikasi politik terus menunjukkan peran pentingnya. Menurut Maswadi Rauf, Komunikasi Politik sebagai kegiatan politik merupakan penyampaian pesan-pesan yang bercirikan politik oleh aktor-aktor politik kepada pihak lain (Maswadi Rauf, 1993: 32). Karenanya, komunikasi politik setidaknya menyangkut tiga hal. Pertama, motif politik itu sendiri. Yakni perbincangan terkait pertanyaan-pertanyaan kenapa seseorang harus masuk ke dunia politik, apa, dan bagaimana politik itu merefleksi kehidupan. Kedua, media atau juga disebut sebagai industri citra. Ketiga, berkaitan dengan konstituen, yakni siapa yang akan menerima pesan politis. Realitas politik yang terjadi saat ini, menuntut para politisi perseorangan atau pun partai memiliki akses yang seluas-luasnya terhadap mekanisme industri citra. Yakni, industri berbasis komunikasi dan informasi yang akan memasarkan ide, gagasan, pemikiran dan tindakan politik. Politik dalam perspektif industri citra merupakan upaya mempengaruhi orang lain untuk mengubah atau mempertahanakan suatu kekuasaan tertentu melalui pengemasan citra dan popularitas. Semakin dapat menampilkan citra yang baik, maka peluang berkuasa semakin besar. Hampir tak ada satu pun komponen-komponen sistem politik yang dapat meniadakan hubungan saling menguntungkan antara politisi dengan industri citra politik. Komponen seperti sosialisasi politik, rekrutmen politik, artikulasi kepentingan, agregasi kepentingan, pembuatan aturan, dan pelaksanaan aturan dibentuk dan dilaksanakan melalui akses terhadap industri citra. Di antara industri citra yang sangat menonjol dewasa ini adalah industri media, baik media massa maupun media sosial. Kekuatan utama media yang tidak bisa dibantah pada era informasi saat ini yakni kekuatan mengkonstruksi realitas. Artinya, kekuatan dalam mengemas berbagai isu yang ada, sehingga menonjol ke permukaan dan akhirnya menjadi perbincangan publik yang menarik. Banyak orang ataupun institusi sosial dan politik yang berkepentingan dengan media. Mereka berupaya memiliki akses untuk masuk dan mempengaruhi media, dengan asumsi penguasaan atas media akan menjadi pintu masuk dalam pengemasan dan penguasaan opini publik. Selanjutnya, dengan menguasai opini publik diharapkan akan mudah mengarahkan kecenderungan pilihan khalayak sesuai dengan yang diharapkan. Opini dalam perspektif komunikasi dipandang sebagai respon aktif terhadap stimulus yakni respon yang dikonstruksi melalui interpretasi pribadi yang berkembang dari image dan menyumbang image. Oleh karenanya, opini merupakan respons yang dikonstruksi, maka sangat strategis jika politisi yang bertarung memiliki perhatian pada politik pengemasan opini. Paling tidak, ada tiga komponen utama di dalam sebuah opini. Pertama, credulity atau soal percaya dan tidak terhadap sesuatu. Dengan pemasaran yang baik, khalayak akan digiring mempercayai apa yang menjadi konsep dan tawaran kandidat. Semakin besar kepercayaan, maka opini yang berkembang akan semakin positif. Kedua, di dalam opini juga terkandung nilai berbentuk nilai-nilai kesejahteraan (welfare values) dan nilai-nilai deferensi (deference value). Nilai-nilai kesejahteraan semisal kemakmuran, keterampilan, dan enlightement. Sementara nilai-nilai deferensi semisal penanaman respek, reputasi bagi moral rectitude, perhatian dan popularitas serta kekuasaan. Dengan memahami komponen-komponen nilai tersebut, kandidat seyogyanya memahami benar jika opini tidak bisa dibiarkan mengalir secara bebas, melainkan harus dikonstruksi. Tentunya dengan cara-cara yang elegan, (Dedi Kurnia SP, 2012: 42). Ketiga, opini juga terdiri dari komponen ekspektasi. Yakni komponen yang berkaitan dengan unsur konatif. Ini merupakan aspek dari image pribadi dan proses-proses interpretif yang terkadang disamakan oleh para psikolog sebagai impuls, keinginan (volition), dan usaha keras. Kesadaran untuk mengemas opini publik adalah kesadaran menyelaraskan keinginan dan usaha keras pencapaian tipe ideal sebuah tatanan dengan tipe ideal yang diharapkan khalayak pemilih. Semakin luas arsiran wilayah harapan antara kandidat dengan pemilih, maka akan semakin besar pula peluang kandidat untuk memenangi pertarungan citra, (Gesa Rina, 2011: 73). Penciptaan citra ini sangat terkait dengan konstruksi sosial. Menurut Peter L. Berger dan Thomas Luckman, konstruksi sosial atas realitas terjadi secara simultan melalui prosesi tiga tahap yakni eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi. Ketiga proses tersebut terjadi dan melebur di antara individu-individu dalam masyarakat dan terjadi secara alamiah melalui bahasa dalam kehidupan sehari-hari pada sebuah komunitas primer dan semi-sekunder. Tentu, tidak serta merta media siber mampu merekayasa realitas secara tunggal. Tetap membutuhkan media pendamping yakni media massa yang masih bersifat konvensional (televisi, radio dan koran). Dengan demikian, teori konstruksi sosial atas realitas Peter L. Berger dan Thomas Luckman menekankan bahwa tanpa media massa, distribusi pesan dalam konstruksi sosial atas realitas berlangsung lamban. Kemudian waktu yang ditempuh untuk membangun opini demi terciptanya realitas media semakin lama, bersifat spasial (terputus-putus), dan berlangsung secara hierarkis-vertikal (terstruktur). Media massa sebagai agen simulasi sebuah realitas sosial mampu memperkaya keadaan nyata menjadi lebih nyata. Meminjam tesis Jean Baudrillard, pakar komunikasi Prancis, menyatakan bahwa kemampuan media massa dalam memproduksi sebuah realitas buatan menjadi realitas yang sebenarnya, bahkan meski tidak memiliki rujukan sama sekali dalam kehidupan kita. Dalam penciptaan citra realitas, media massa mampu menciptakan hegemoni opini publik. Dengan kemampuan membangun opini publik inilah yang memudahkan alur para marketing politik dalam merangakai dinasti elektabilitas. Berbagai isu akan ditampilkan kepada khalayak dan kahalayaklah yang berhak memilih, apakah isu tersebut sebagai cerminan pribadi calon atau bukan. Citra realitas politik yang demikian akan mendapat respon adanya ruang demokrasi, mengunakan istilah hegemoni yang berarti semua keputusan ditangan rakyat, sedang cara dominasi lebih dekat pada keputusan yang dipaksakan penguasa. Di Indonesia, pada awal reformasi yang dimulai pada tahun 1999 dan hingga sekarang, terjadi era kekuasaan media (mediacracy), bahkan kini mencapai titik puncaknya. Media secara sempurna mampu melakukan rekayasa terhadap realitas politik. Dengan kata lain, media memiliki peran besar sebagai pendefinisian realitas politik. The Setting of Agenda, berperan inti dalam pembahasan ini yakni relevansi Media massa dan perilaku pemilih. Teori tersebut memaparkan dengan jelas bagaimana transaksi informasi yang diproduksi oleh media massa adalah sebuah realitas buatan yang menghasilkan komunikasi linier opini publik. Artinya, dalam teori agenda setting menjabarkan mengenai kepentingan media dalam hal mempengaruhi. Khalayak sebagai penerima pesan dikontruksikan oleh peran agenda setting. Semisal membangun opini publik seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, menggiring pemikiran khalayak, dan pada akhirnya bernilai pragmatis. Media massa dalam hal ini berkemampuan mengkonstruksi sebuah realitas maya. Kemampuan inilah yang kemudian disinyalir sebagai alat pengubah mindset pemirsanya. Khalayak senantiasa menerima apa yang ditransformasikan oleh media massa dan tanpa sadar khalayak telah terpengaruh. Media massa mampu memberikan gambaran yang dianggap relatif secara jelas kepada khalayak jika realitas tersebutlah yang seharusnya dilakukan. Namun demikian, ini yang menarik, karena media massa bukanlah faktor penentu dalam hal pemilihan. Khalayak sepenuhnya memiliki hak menentukan mana yang harus dipilih. Media hanya sebagai pengantar pesan dari para marketing politik dan khalayaklah yang akan menentukan. Pada dasarnya, hubungan media massa dengan perilaku pemilih dipengaruhi oleh fenomena sosial yang bersandar pada kesejahteraan ekonomi dan kekuasaan politik yang berlainan. Pendekatan linier opini publik tersebut tidak serta merta diciptakan oleh media massa. Melainkan hasil pergulatan para marketer yang berusaha menciptakan isu yang diproyeksikan sebagai pengangkat pamor sang calon. METODOLOGI Paradigma Penelitian Paradigma yang digunakan dalam penelitian ini adalah Paradigma Kontruktivis. Secara Ontologis, Paradigma Konstruktivis bersifat relatif, di mana realitas dapat dipahami sebagai bentuk konstruksi mental yang diperoleh secara alami melalui kehidupan sosial atau pengalaman dan seringkali diperlukan diantara sejumlah individu. Secara Epistimologis, paradigma konstruktivis bersifat transaksional dan subjektif. Peneliti dan objek penelitian diasumsikan terhubungkan secara interaktif sehingga temuan dari penelitian tersebut tercipta seiring pelaksanaan penelitian. Secara Metodologis, Paradigma konstruktivisme bersifat Hermeneutikal dan dialektikal. Dimana variabel dan sifat personal dari konstruksi sosial menyebabkan konstruksi individual. Tabel 1.1 : Pebandingan Paradigma Penelitian KeteranganClassical ParadigmCritical ParadigmPerbedaan OntologisCritical Realism: Ada realitas yang real yang diatur oleh kaidah-kaidah tertentu yang berlaku universal walaupun kebenaran pengetahuan tentang itu mungkin hanya bisa diperoleh secara probabilistik.Historical Realism : Realitas yang teramati (virtual reality) merupakan realitas semu yang telah terbentuk oleh proses sejarah dan kekuatan-kekuatan sosial, budaya, dan ekonomi politikPerbedaan EpistemologisDualist/objectivist : Ada realitas obyektif, sebagai suatu realitas yang external di luar diri peneliti. Peneliti harus sejauh mungkin membuat jarak dengan obyek penelitian.Transactionalist/ Subjectivist Hubungan antara peneliti dengan realitas yang diteliti selalu dijembatani oleh nilai-nilai tertentu. Pemahaman suatu realitas merupakan value mediated finding.Perbedaan AksiologisNilai, etika dan pilihan moral harus berada di luar proses penelitian Peneliti berperan sebagai disinterested scientist Tujuan Penelitian: eksplanasi,Nilai, etika dan pilihan moral merupakan bagian takterpisahkan dari suatu penelitian Peneliti menampatkan diri sebagai transformative intelectual, advokat dan aktivis Tujuan Penelitian: kritik sosial, transformasi, emansipasi dan social empowermentPerbedaan MetodologisInterventionist: Pengujian hipotesis dalam struktur hipothetico deductive method; melalui lab, eksperimen atau survey eksplanatif, dengan analisis kuantitatif Participative: Mengutamakan analisis komprehensif, kontekstual dan multi level analysis yang bisa dilakukan melalui penempatan diri sebagai aktivis/partisipan dalam transformasi socialKriteria kualitas penelitian: Objectivity, realibility and validity (internal dan external validity)Kriteria kualitas penelitian: Historical situadness; sejauh mana penelitian memperhatikan konteks historis, sosial, budaya, ekonomi dan politikSumber : Dedy N. Hidayat, Paradigma dan Perkembangan Penelitian Komunikasi, dalam Jurnal Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia, No. 3/April 1999, hal: 34-35 Objek Penelitian Objek penelitian ini adalah akun media sosial Ridwan Kamil di Twitter, Facebook, Instagram, dan ask.fm. Selain itu, obyek berupa produksi media cetak adalah buku karya penulis berjudul Twitter Powerr @ridwankamil, selain publikasi terkait akun media sosial Ridwan Kamil di harian Pikiran Rakyat yang dipantau secara acak selama setahun pertama jabatan Walikota Bandung Ridwan Kamil (September 2013 s.d September 2014). Juga, secara langsung terlibat, Walikota Ridwan Kamil sendiri menjadi salah satu obyek penelitian. Pertimbangan tingginya nilai informasi dari obyek tersebut menjadi alasan utama peneliti memilihnya, selain faktor relevansi tujuan penelitian dengan paper ini. Metode Penelitian Metode penulisan menggunakan asumsi literatur, dengan pendekatan kualitatif. Dengan demikian, penelitian ini bersifat konseptual. Penulis melihat realitas mellaui berbagai asumsi yang di dukung oleh kajian pustaka. Kemudian mengolah dengan pertanggungjawaban konsep ilmiah. Sebagai landasan berpikir olah data, penulis memerlukan teknik pengumpulan data sebagaimana berikut ini. Teknik Pengumpulan Data Teknik Pengumpulan data yang digunakan oleh peneliti adalah: Wawancara Wawancara menurut Mulyana (2004: 180), adalah bentuk komunikasi antara dua orang yang melibatkan seseorang yang ingin memperoleh informasi dari seseorang lainnya dengan mengajukan pertanya an-pertanyaan. Sesuai tujuan penelitian, maka wawancara dalam penelitian ini dilakukan dengan in-dept interviuew secara tidak terstruktur langsung kepada Ridwan Kamil dalam periode Agustus-September 2014. Observasi Partisipasi Observasi partisipasi merupakan pengamatan langsung pada lokasi penelitian untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas terhadap objek penelitian. Observasi dilakukan kepada penerbit buku dan media massa yang menjadi objek penelitian. Dari sana peneliti dapat mengetahui seperti apa arah kontruksi sosial yang dihendaki keduanya. Dokumentasi Teknik pengumpulan data lain yang peneliti gunakan adalah dengan dokumentasi, teknik ini dimaksudkan mengumpulkan data penelitian berdasarkan kliping koran di Pikiran Rakyat pada periode tersebut. Teknik Analisis Data Teknik analisis data untuk teks, menggunakan analisis tekstual berdasarkan framing model Entman. Analisis ini mencermati strategi seleksi, penonjolan dan pertautan fakta kedalam produk media cetak agar lebih bermakna, lebih menarik, lebih berarti untuk menggiring interpretasi khalayak sesuai dengan perspektifnya sesuai dengan elemen Framing Entman. Penonjolan merupakan suatu proses pembuatan informasi menjadi lebih bermakna. Realitas yang disajikan secara menonjol atau mencolok sudah barang tentu memiliki peluang besar untuk diperhatikan dan mempengaruhi khalayak dalam memahami realitas. STUDI KASUS Akun Media Sosial Ridwan Kamil Walikota Bandung 2013-2018 Ridwan Kamil memiliki sejumlah akun media sosial, sekalipun yang paling aktif digunakan adalah Twitter. Pertama membuatnya 6 Oktober 2009 dengan akun @ridwankamil, akun ini sejak awal hingga sekarang dioperasikan sendiri (tanpa bantuan admin seperti sejumlah pemimpin politik lainnya). Ketika belum menjadi Walikota Bandung per 16 September 2013, jumlah pengikutnya sekitar 80.000-an, namun per 3 November 2014 telah mencapai 830.000-an, atau naik hampir 10x lipat semenjak resmi menjadi walikota dalam kurun satu tahun terakhir. Rata-rata kicauannya ditanggapi puluhan, namun bisa ratusan jika menarik seperti saat berkicau soal rencana Bandung membuat Taman Jomblo, Taman Film, dan banyak hal lainnya. Demikian pula dengan jumlah yang me-retweet ataupun favorit, jumlahnya bisa ratusan hingga ribuan. Di mata penulis, akun Twitter Ridwan Kamil menjadi kekuatan pembeda tersendiri dibandingkan akun pejabat publik daerah lain. Sebab, kicauannya bisa menggerakkan masyarakat dalam sejumlah program Pemkot Bandung seperti gerakan Biopori, taman tematik, Bis Damri gratis Senin-Kamis, Rebo Nyunda, Kamis Inggris, hingga terakhir Gerakan Pungut Sampah (GPS). Jadi, masyarakat bisa bergerak mengikuti program tersebut tanpa perlu diikutkan dulu gerakan sosialisasi formal yang diinisiasi Pemkot Bandung --biasanya oleh Dinas Komunikasi Informatika. Dengan bahasa yang menggugah, kadang disertai visual desain grafis yang menarik. Ridwan Kamil mengajak secara persuasif pengikutnya. Tidak ada kesan memaksa, tidak ada citra merasa punya jabatan, apalagi menggunakan pendekatan koersif atau pengenaan hukuman bagi yang tidak ikut serta. Sebaliknya dengan pendekatan seorang kawan atau seorang ayah yang memposisikan dekat dengan semua kalangan, sang walikota mencoba sebijak mungkin dalam merangkul semua kalangan. Tidak semuanya langsung setuju, bahkan yang menentang atau bernada nyinyir, kerap berdatangan dari warga. Namun karena Ridwan Kamil juga tergolong konsisten mengampanyekan sebuah program, perlahan dukungan pun jadi muncul. Ilustrasi hal ini bisa dilihat dalam program Gerakan Biopori (dimulai Oktober 2013) yakni membuat lubang di tanah 30 cm guna mengurangi dampak banjir musiman. Dengan gaya ringan, mengayomi, sekaligus menonjolkan manfaat gerakan tersebut, Walikota Bandung mengajak seluruh lapisan masyarakat terlibat. Saat itu pula, tak semua paham dan mendukung gerakan. Namun tanpa lelah, nyaris tiap hari pula Walikota Bandung mengajak masyarakat terus terlibat, sehingga kian hari kian banyak yang setidaknya tertarik ikut serta. Ditambah kemudian Gerakan Biopori ini berhasil menggandeng banyak sponsor yang menyediakan hadiah, sejumlah pencapaian pun diraih. Warga yang ikut membuat berjumlah banyak dan merata di seluruh Kota Bandung, apalagi Ridwan Kamil kerap mengapresiasi dengan me-retweet foto mereka yang tengah gotong royong membuat biopori. Puncaknya adalah tercipta Rekor MURI pada 29 Desember 2013, ketika dalam lima hari saja, berhasil dibuat sekitar 260.000 lubang biopori di seluruh Kota Bandung. Respon sama ramainya tercipta ketika dibuat Taman Jomblo, sebutan bagi Taman Cikapayang, yang berada persis di bawah flyover Pasupati di atas lahan seluas 25 x 25 meter persegi. Sebagai ruangan publik yang dulunya tidak terurus dan kumuh, maka sejak Februrari 2014 dibuatkan sejumlah tempat duduk kapasitas seorang yang terpisah-pisah dan dicat warna-warni menarik mata. Melihat bentuk kursi seperti itu, agar mudah diterima masyarakat, Ridwan Kamil dalam sebuah wawancara dengan media, spontan menyebut taman tersebut sebagai Taman Jomblo. Sontak, lini masa Twitter pun ramai menyebut taman tersebut. Bahkan, kicauan pertama sang walikota tentang Taman Jomblo di-retweet demikian banyak saat itu. Bahkan, arus media massa utama pun jadi tertarik mempublikasikan taman tersebut, seperti misalnya Liputan 6 SCTV yang secara khusus mewawancarai Ridwan Kamil di depan Taman Jomblo. Berkaca hal ini, virtual community yang terus memperbincangkan keberadaan taman tersebut, pada akhirnya berhasil menarik banyak media massa utama untuk ikut serta mereportasekan keberadaan taman ini. Selain menjadi alat penggerak massa seperti diuraikan di atas, dengan bermodalkan kata 140 karakter ataupun tautan video dan foto, Walikota Bandung juga tak sungkan berbagi sejumlah kisah, cerita, hingga gambaran respon masyarakat akan aktivitasnya saat berselancar di Twitter. Selain itu, bagaimana warga merespon seluruh aktivitas tersebut semisal mimik tiga ABG yang kusut setelah ketinggalan bis Damri gratis juga ikut diperlihatkan, sehingga bukan hanya aksi, namun juga reaksi tergambarkan lengkap di tulisan ini. Selain Twitter, media sosial yang digunakannya adalah Instagram, dan Facebook. Di Instagram, walikota kerap mengunggah foto hasil sendiri menggunakan kamera kesayangannya, Canon EOS Mark II. Kualitas fotonya tak kalah baik dari fotografer profesional. Sesekali, foto dari humas Pemkot juga ditampilkan di akun tersebut. Jumlah foto yang diunggah hampir 1.300 buah dengan pengikut sekkira 130.000, di mana foto disukai hampir 2.000-3.000 pengikut dengan 150-an komentar. Sementara di Facebook, Ridwan Kamil relatif kurang aktif karena pernah diretas di tahun 2009-an. Kini, dengan bantuan admin, medium Facebook yang resmi digunakan adalah akun fans page Ridwan Kamil Untuk Bandung yang fokus mengunggah kegiatan yang butuh narasi panjang disertai foto. Jumlah orang yang ikut grup ini sekitar 270.000 (update pada 3 November 2014). Respon di grup ini juga relatif ramai, namun Ridwan Kamil pribadi tidak merespon langsung komentar yang masuk seperti halnya di Twitter dan Instragram. Satu kanal media sosial lain yang juga digunakannya adalah ask.fm, saluran tanya jawab berbentuk forum. Berbeda dengan tiga media sosial lainnya, sisi humanis Ridwan Kamil yang senang bercanda, terlihat jelas di ask.fm. Bahkan, jawaban yang diberikan sangat cair dan jauh dari kesan seorang walikota pada umumnya. Di medium ini, Ridwan Kamil menjawab langsung pertanyaan dari para pengikutnya. Meski awalnya banyak yang kurang percaya, namun seiiring konsistensi dan gaya jawabannya, perlahan orang percaya dan jadi membanjiri pertanyaan terhadap akun tersebut. ANALISIS Transformasi Ruang Politik Ridwan Kamil Studi kasus yang dijelaskan dalam teks-teks di atas mengangkat beberapa masalah yang berhubungan antara ruang sibermedia dan politik, komunikasi pemerintahan konvensional dan virtual. Pentingnya ruang sibermedia berada dalam cara-cara yang menggabungkan mobilitas, interaktivitas dan visibilitas. Kita sekarang dapat melihat teori sibermedia di mana aktivis mobile mengaktifkan konfigurasi secara interaktif antar-media yang terhubung antara media lama dan media baru. Sebuah teori ruang sibermedia adalah salah satu bagian penting munculnya media-YouTube, Facebook, Twitter, dan lain sebagainya. Sementara pada saat yang sama menekankan bahwa istilah "media lama" seperti televisi, world wide web dan surat kabar adalah link penting yang ada di ruang sibermedia. "New" dan "Old" media karena itu terkunci dalam sebuah hubungan, tidak dapat terpisah karena keduanya adalah satu kesatuan sejarah perkembangan teknologi komunikasi. Saling bergantung dan saling meneguhkan, juga saling melengkapi. Bagi Ridwan Kamil, teks pesan dan interaksi digital berfungsi untuk menyalurkan informasi penting yang meningkatkan visibilitas berita di televisi. Perpaduan gerakan gambar antara ponsel, layar komputer, dan layar televisi harus dihubungkan melalui sibermedia agar tersebar secara luas. Sementara itu, masa depan studi komunikasi politik terkait siber tergantung pada penelitian yang sistematis dalam mengeksplorasi persoalan, menjabarkan kaitan issue dan teori sebagai cara untuk mengulas media "lama" dan "baru" yang saling berkaitan, sibermedia tidak akan cukup tangguh membangun sebuah propaganda ketika tidak ada bantuan televisi. Sebaliknya, televisi masih cukup tangguh berdiri sendiri tanpa bantuan sibermedia. Poin pentingnya adalah belum saatnya merayakan munculnya media baru atau meratapi media lama, toh pada faktanya media lama masih tetap mampu mandiri. Namun, kita harus berhati-hati untuk tidak memuja teknologi baru tersebut, sebaliknya tetap fokus pada orang-orang yang bermotif politik saat menggunakannya dalam konteks sosial dan politik di setiap aksi mereka, baik dalam skala nasional maupun global. Ruang sibermedia adalah salah satu situs dari jaringan sosial, sebagaimana pendapat Bolter dan Grusin, Media memiliki hak, tetapi hak agen yang ... dibatasi ... ia adalah agen agen perubahan budaya melalui interaksi material formal, dan logika ekonomi yang menyelinap masuk dan keluar dari jangkauan individu dan kelompok sosial. Untuk mengikuti garis umum untuk menghindari pemikiran sementara determinisme media. Dalam hal ini, kami mengusulkan teori seperti ketergantungan media dan imperialisme yang menemukan agen secara eksklusif dalam struktur ekonomi politik, teknologi media, dan dari teori budaya dari pengguna aktif yang berpendapat tentang pemaknaan pesan media. Dalam hal ini, hubungan antara praktik komunikasi dan situasi di wilayah yang membutuhkan eksplorasi lebih lanjut dan memerlukan banyak teori. Salah satu cara untuk memulai penelitian hal itu adalah dengan membedakan antara informasi dan mobilisasi. "Revolusi Twitter" yang berkembang di bebeapa negara seperti Indonesia. Siber sebagai fasilitator pertukaran informasi lintas batas, tetapi sejauh mana efektifitas ruang siber dalam mengorganisir massa. Dapat dikatakan bahwa sifat media "publik" tersebut dan visibilitas tinggi mereka membuat mereka sempurna untuk menggabungkan massa (mass diffusion), sementara informasi pada saat yang sama membuat mereka tidak efektif dalam menyelenggarakan operasi clandestin dalam konteks volatile. Ruang Sibermedia memberikan ruang alternatif untuk pengendalian aktifitas sosial (Kraidy, 2006). Proses teknologi memungkinkan untuk mengambil tempat, di mana aktor lain diabaikan setelah ada aktor lain yang memainkan peran lain. Konstruksi Sosial atas Realitas Sibermedia Peter L. Berger dan Thomas Luckman memberikan gambaran tentang konstruksi sosial. Dalam catatan mereka, konstruksi sosial atas realitas terjadi secara simultan melalui prosesi tiga tahap. Pertama, Eksternalisasi. Kedua, Objektivasi dan Ketiga adalah Internalisasi. Ke Tiga proses tersebut terjadi dan melebur di antara individu-individu dalam masyarakat. Tentu, tidak serta merta sibermedia mampu merekayasa realitas secara tunggal. Tetap membutuhkan media pendamping yakni media massa yang masih bersifat konvensional (televisi, radio dan koran). Substansi teori dan pendekatan konstruksi sosial atas realitas yang diasumsikan oleh Berger dan Luckman adalah proses simultan yang terjadi secara alamiah melalui bahasa dalam kehidupan sehari-hari pada sebuah komunitas primer dan semi-sekunder. Catatan penting dalam ranah bahasan ini adalah media massa belum banyak diperbincangkan saat penelitian awal dilakukan. Basis sosial teori dan pendekatan ini ialah masyarakat transisi-modern di Amerika pada sekitar tahun 1960-an, pada era ini media massa masih menjadi hal yang tidak terlalu popular dan belum menjadi sebuah fenomena yang menarik untuk dibicarakan. Sehingga, propaganda pada masa itu masih menggunakan media manual yang jauh dari teknologi seperti yang di jumpai kini. Dengan demikian, teori konstruksi sosial atas realitas Peter L. Berger dan Thomas Luckman belum memasukkan media massa sebagai variabel atau fenomena yang berpengaruh dalam konstruksi sosial atas realitas pada masa itu, kini perubahan telah terjadi dengan kecepatan maksimal dan hampir tidak ada kekuatan yang mampu menghentikan, terutama kemajuan teknologi komunikasi yang berbasis massa. Tanpa adanya media massa, distribusi pesan dalam konstruksi sosial atas realitas berlangsung lamban, waktu yang ditempuh untuk membangun opini demi terciptanya realitas media semakin lama, bersifat spasial (terputus-putus), dan berlangsung secara hierarkis-vertikal (terstruktur), di mana konstruksi sosial berlangsung dari pimpinan ke bawahannya, pimpinan kepada massanya, kyai kepada santrinya, guru kepada muridnya, orang tua kepada anaknya, dan sebagainya. dalam konteks ini, bangunan konstruksi sosial membutuhkan lebih banyak gate keeper. KESIMPULAN Studi kasus Ridwan Kamil di atas menjelaskan hubungan antara manfaat teknologi ruang Siber terhadap publik keseluruhan. Bahwa teknologi sebagai techne, telah menunjang eksistensi seorang homo habilis yang tengah menjadi pemimpin politik, sehingga tercipta kondisi extension of men. Teknologi ini memungkinkan keaktifan di media sosial (yang dikelola sendiri secara langsung oleh Ridwan Kamil), memunculkan hadirnya ruang lompatan kualitatif setiap orang dalam pencarian, mengakses, memproduksi, dan bereaksi terhadap informasi yang diterima. Walikota Bandung periode 2013 s.d 2017 berhasil menciptakan respon aktif terhadap stimulus, yakni respon yang dikonstruksi melalui interpretasi pribadi yang berkembang dari image dan menyumbang image. Atau, dalam pendekatan lainnya terkait konstruksi opini, komunikasi di ruang siber miliknya mampu membangun credulity, menjanjikan nilai-nilai kesejahteraan (welfare values), menawarkan nilai-nilai deferensi (deference value), serta melahirkan ekspektasi. Dari kemampuan membangun keaktifan dan interaksi inilah, lahir kekuatan menciptakan opini sekaligus mengkonstruksi realitas. Yakni kekuatan mengemas berbagai isu yang ada, sehingga menonjol ke permukaan dan akhirnya menjadi perbincangan publik menarik. Maka, kemampuan pengelolaan interaksi, opini, dan realitas inilah melahirkan komunikasi partisipatif. Yakni komunikasi yang proses arusnya dibangun pada banyak arah, peran produsen dan penerima informasi diacak, mampu membentuk sebuah pesan, sehingga terjadi wacana timbal balik dalam budaya sebuah masyarakat. Ditunjang fakta bahwa Ridwan Kamil selalu mampu masuk radar media massa konvensional (televisi, radio, dan koran), maka distribusi pesan ini menunjang lahirnya konstruksi realitas. Menunjang terciptanya proses membangun opini yang berjalan sangat cepat, terintegrasi, dan terstruktur. Ruang siber terbukti efektif sebagai fasilitator ide dan gagasan yang kolaboratif dan menggerakan seluruh lapisan masyarakat, sehingga sifat proses yang ada membuat mereka sempurna untuk menggabungkan masa (mass diffusion). Kesimpulannya, Ridwan Kamil dan pengikutnya di akun media sosial, terutama Twitter, akhirnya terlibat pola kolaboratif karena mereka meyakini bahwa teknologi efektif mengubah cara berpikir mereka tentang dunia. Sekaligus percaya bahwa perubahan tadi berjalan secara ekologis. Komunikasi politik yang sebelumnya serba formal, berjenjang, dan jauh dari masyarakat, diubah seketika dengan pola komunikasi yang datar, egaliter, mudah, dan partisipan. Pikiran kita tentang pejabat luruh berkat teknologi ruang Siber; Teknologi mengubah cara kita dalam menggunakan pikiran. Ridwan Kamil menyadari, melalui teknologi, bisa dilakukan enframing; gestell (pembingkaian) terhadap pandangan kita terhadap dunia. Melalui teknologi, pemimpin politik di Kota Bandung ini melihat alam sebagai sesuatu yang harus dikuasai dan dimanipulasi, sehingga dengan sendirinya terjadi pembingkaian media sebagaimana ditegaskan Robert Entman. Untuk perubahan ekologis, situasi ini terjadi manakala wajah keseluruhan Pemerintah Kota Bandung dan pemimpin politik yang menjalankannya berubah menjadi tampilan yang cerdas, inovatif, dan partisipatif. Jadi, membayangkan Pemerintah Kota Bandung hari ini membayangkan pemerintah dengan banyak terobosan, bukan lagi pemerintah otoriter yang koruptif turun temurun. Untuk itulah, mereka yang menginginkan pencapaian serupa Ridwan Kamil, Walikota Bandung periode 2013-2018, maka teknologi ruang Siber sebagai medium komunikasi politik dalam membangun opini, kontruksi realitas, sekaligus partisipasi publik, bisa turut menjadikannya sebagai solusi utama. DAFTAR PUSTAKA Allen, V.L. Power in Trade Union. London: Longman, 1995. Bolter, J. D. & Grusin. Remediation: Understanding new media, Cambridge, MA: MIT Press. 1999 Castells, Manuel. The Rise of The Network Society. Oxford: Blackwell, 2001. Geertz, Clifford. Politik Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius, 1992. Heidegger, Martin. The Question Concerning Technology. HarperCollins. 1982. Hidayat,Taufik. Ilmu Komunikasi dan Sistem Politik. Jakarta: Qisthi Press, 2007. Kraidy, M. M. Reality Television and Arab Politics: Contention in Public Life. Cambridge, UK and New York: Cambridge University Press. 2009 Kraydi, Marwan M. Hipermedia Space and Global Communication, Annenberg: the Universtity of Pennsylvania Press, 2011. Marbun, B.N. Kamus Politik. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2007. Nimo, Dan. Komunikasi Politik: Komunikator, Pesan dan Media. Bandung: Remaja Rosdakarya, 1993. Postman, Neil. 1998. Five Things We Need to Know About Technological Change. Postman, Neil. Amusing Ourselves to Death: Public Discourse in The Age of Show Business. Penguin Books. 1986. Putra, Dedi Kurnia Syah. Media dan Politik. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012 Reade, H.M. Political Theory. London: Sage Publishing, 1982. Sreberny-Mohammadi, A. & Mohammadi, A. Small Media, Big Revolution: Communication, Culture, and the Iranian Revolution. Minneapolis: University of Minnesota Press. 1994 TENTANG PENULIS Muhammad Sufyan Abdurrahman. Pengajar Ilmu Komunikasi di Universitas Telkom Bandung. Selain mengajar, juga berprofesi sebagai penulis, konsultan komunikasi, sekaligus Dirut PT Edu Media Komunika (holding media di bawah Telkom Foundation membawahi dua radio, satu event organizer, satu penerbit, dan satu media agency). Lahir di Cianjur pada Maret 1980. Menyelesaikan studi kesarjanaan (S1) ekstensi pada Jurusan Jurnalistik Universitas Padjadjaran, Bandung, dan Studi Magister (S2) dalam Manajemen Bisnis di Institut Manajemen Telkom (sekarang Universitas Telkom), Bandung. Telah menulis enam buku terkait antara lain Menjaga Bangsa dengan Menara Suar (2008), Review Survey Teknologi Informasi (2008), BlackBerry for Everyone (2009), Twitter Power @ridwankamil (2014), dan Bahu Membahu Mendidik Calon Pemimpin Bangsa (2014). Dapat dihubungi melalui sufyan@ypt.or.id/ muhammad.altafs@gmail.com     %<=Byzïs_K7#'hh}6CJOJQJaJmH!sH!'hh 6CJOJQJaJmH!sH!'hh,`5CJOJQJaJmH!sH!'hh}5CJOJQJaJmH!sH!'hhj5CJOJQJaJmH!sH!'hhN6CJOJQJaJmH!sH!'hhk6CJOJQJaJmH!sH!'hh% e5CJOJQJaJmH!sH!'hh:5CJOJQJaJmH!sH!'hhk5CJOJQJaJmH!sH!'hhp,5CJOJQJaJmH!sH! =yz    !$7dh`7a$gd $dha$gd$7d`7a$gd $da$gd $da$gd $dha$gd      F ɵzfR>+$hhp4:CJOJQJaJmH!sH!'hh05CJOJQJaJmH!sH!'hh9ar5CJOJQJaJmH!sH!'hhL5CJOJQJaJmH!sH!$hh0CJOJQJaJmH!sH!'hh 6CJOJQJaJmH!sH!'hh}6CJOJQJaJmH!sH!'hh6CJOJQJaJmH!sH!!h6CJOJQJaJmH!sH!!h,`6CJOJQJaJmH!sH!'hh06CJOJQJaJmH!sH! F f o w     ' U c j v w ڴڡtڴaN;$hh$CJOJQJaJmH!sH!$hhp,CJOJQJaJmH!sH!$hhM CJOJQJaJmH!sH!hh~<CJOJQJaJhh ,CJOJQJaJhh?ZCJOJQJaJ$hhkCJOJQJaJmH!sH!$hh ,CJOJQJaJmH!sH!$hh:CJOJQJaJmH!sH!$hhp4:CJOJQJaJmH!sH!$hh0CJOJQJaJmH!sH!    H r 4 : E t ~  Ǵǎǎ{ڡǎhUAU'hhz6CJOJQJaJmH!sH!$hhzCJOJQJaJmH!sH!$hhPCJOJQJaJmH!sH!$hh5PCJOJQJaJmH!sH!$hh:CJOJQJaJmH!sH!$hhkCJOJQJaJmH!sH!$hh0CJOJQJaJmH!sH!$hhp,CJOJQJaJmH!sH!$hh ,CJOJQJaJmH!sH!$hh$CJOJQJaJmH!sH! 2 ]ǴǴ{hThTA-'hh.u5CJOJQJaJmH!sH!$hhzCJOJQJaJmH!sH!'hh,6CJOJQJaJmH!sH!$hh,CJOJQJaJmH!sH!$hh,{CJOJQJaJmH!sH!$hhkCJOJQJaJmH!sH!$hh ,CJOJQJaJmH!sH!$hhp4:CJOJQJaJmH!sH!$hh:CJOJQJaJmH!sH!$hh~<CJOJQJaJmH!sH!$hhp,CJOJQJaJmH!sH! ! ïÜt^N:N*hhk6CJOJQJaJ'hhk6CJOJQJaJmH!sH!hhz6CJOJQJaJ*hhz56CJOJQJaJmH!sH!"hhz56CJOJQJaJ*hh@56CJOJQJaJmH!sH!$hh~<CJOJQJaJmH!sH!'hhk5CJOJQJaJmH!sH!'hhU5CJOJQJaJmH!sH!'hh.u5CJOJQJaJmH!sH!'hh~<5CJOJQJaJmH!sH!}gQ}g;*hh@56CJOJQJaJmH!sH!*hhk56CJOJQJaJmH!sH!*hhz56CJOJQJaJmH!sH!"hhz56CJOJQJaJ'hh$;6CJOJQJaJmH sH 'hh$;6CJOJQJaJmH!sH!'hhk6CJOJQJaJmH!sH!'hhz6CJOJQJaJmH!sH!hhk6CJOJQJaJhhz6CJOJQJaJ} !&¯vcT@'hhk6CJOJQJaJmH!sH!hh@CJOJQJaJ$hhCJOJQJaJmH!sH!$hh(RCJOJQJaJmH!sH!$hh.}|CJOJQJaJmH!sH!$hh jCJOJQJaJmH!sH!$hhUCJOJQJaJmH!sH!'hh@5CJOJQJaJmH!sH!'hhW?5CJOJQJaJmH!sH!*hhp,56CJOJQJaJmH!sH!hno!6#$&&&y(z(1*$77d^7`7a$gd$ & FSdh^S`a$gd $dha$gd$7dh`7a$gd&+-LW]at{|&-@AHghopyŲŏqbbqbqO?q?hh j6CJOJQJaJ$hh(CJOJQJaJmH!sH!hhUCJOJQJaJhh jCJOJQJaJhh@CJOJQJaJhh@6CJOJQJaJ$hhiCJOJQJaJmH!sH!$hho#rCJOJQJaJmH!sH!$hh jCJOJQJaJmH!sH!$hhCJOJQJaJmH!sH!'hh j6CJOJQJaJmH!sH!yz}~ p!&*D^lqwɶ}j}W}}}Wj$hho#rCJOJQJaJmH!sH!$hhiCJOJQJaJmH!sH!$hh@CJOJQJaJmH!sH!$hh\v|CJOJQJaJmH!sH!$hh(CJOJQJaJmH!sH!$hhCJOJQJaJmH!sH!hhUCJOJQJaJ$hh jCJOJQJaJmH!sH!'hh j6CJOJQJaJmH!sH!J^yex noűuaM:$hh5"CJOJQJaJmH!sH!'hh{R5CJOJQJaJmH!sH!'hh5"5CJOJQJaJmH!sH!'hhU5CJOJQJaJmH!sH!'hhi5CJOJQJaJmH!sH!'hh|+5CJOJQJaJmH!sH!'hh@5CJOJQJaJmH!sH!'hho#r5CJOJQJaJmH!sH!'hh,hr6CJOJQJaJmH!sH!$hh,hrCJOJQJaJmH!sH!<EJVD !!J!L!!!!E"e"f"l"""""""""5#6#####2$D$$$m&p&&&'hhM6CJOJQJaJmH!sH!$hhMCJOJQJaJmH!sH!$hh5"CJOJQJaJmH!sH!'hh{R6CJOJQJaJmH!sH!$hh;CJOJQJaJmH!sH!$hh{RCJOJQJaJmH!sH!/&&&&&&&&&&'3'<'L'W'Z'''''ï렍zgTE2EgE$hhCJOJQJaJmH!sH!hh{RCJOJQJaJ$hh0CJOJQJaJmH!sH!$hh@CJOJQJaJmH!sH!$hhiCJOJQJaJmH!sH!$hh{RCJOJQJaJmH!sH!hh@CJOJQJaJ'hhU5CJOJQJaJmH!sH!'hh25CJOJQJaJmH!sH!'hhi5CJOJQJaJmH!sH!'hh{R5CJOJQJaJmH!sH!'''''''''](b(g(m(w(x(y(z(1*2*C*K*S*˼񼬜ubO<$hhUCJOJQJaJmH!sH!$hh0CJOJQJaJmH!sH!$hhCJOJQJaJmH!sH!'hh@6CJOJQJaJmH!sH!$hh@CJOJQJaJmH!sH!hh@6CJOJQJaJhhk6CJOJQJaJhh@CJOJQJaJ$hh{RCJOJQJaJmH!sH!$hh5"CJOJQJaJmH!sH!hh{RCJOJQJaJ1*2*+h-/N12467:>|@BDE8H|IJK~MNP$dh`a$gdk$7dh`7a$gd $da$gdS*X*]*****+!+4+5+7+F+H+N+P+U+++++++++++E-I-g-h-x-ĵĵĵĵĒĵĵăpĵaphh2CJOJQJaJ$hh5"CJOJQJaJmH!sH!hh5"CJOJQJaJ$hhUCJOJQJaJmH!sH!hh@6CJOJQJaJhh@CJOJQJaJ$hh@CJOJQJaJmH!sH!'hh@6CJOJQJaJmH!sH!'hhk6CJOJQJaJmH!sH!x-~------... ...=.g.h.w.|......./////0'0d01.1N1W111ڸڸڸڸڥڒs_ڸ'hh26CJOJQJaJmH!sH!hh@6CJOJQJaJhh2CJOJQJaJ$hh5"CJOJQJaJmH!sH!$hh#CJOJQJaJmH!sH!$hh2CJOJQJaJmH!sH!hh@CJOJQJaJ$hh@CJOJQJaJmH!sH!$hhkCJOJQJaJmH!sH!%111112 2>2D22244455L66666xbN:xb'hh2CJOJQJaJmHnHu'hh#CJOJQJaJmHnHu+hh5"CJOJQJaJmHnHsH!u'hh5"CJOJQJaJmHnHu'hh@CJOJQJaJmHnHu$hh5"CJOJQJaJmH!sH!'hh@6CJOJQJaJmH!sH!$hh#CJOJQJaJmH!sH!$hh2CJOJQJaJmH!sH!$hh@CJOJQJaJmH!sH!66779 9999999:::::-:::::::;;;տտթթ}g}g}տQg+hh@CJOJQJaJmHnHsH!u+hhACJOJQJaJmHnHsH!u'hhACJOJQJaJmHnHu.hh@6CJOJQJaJmHnHsH!u*hh@6CJOJQJaJmHnHu+hh5"CJOJQJaJmHnHsH!u'hh@CJOJQJaJmHnHu+hh#CJOJQJaJmHnHsH!u;;;;<<<<3<B<_<g<<<<<<<<<===> >>>>????տիիտkW'hhCCJOJQJaJmHnHu'hhACJOJQJaJmHnHu'hh#CJOJQJaJmHnHu.hhA6CJOJQJaJmHnHsH!u'hh@CJOJQJaJmHnHu*hh@6CJOJQJaJmHnHu+hh5"CJOJQJaJmHnHsH!u'hh5"CJOJQJaJmHnHu??D@c@|@@8A@AOAPA`AaAAAp^ppڴڡzggzg$hh0I~CJOJQJaJmH!sH!$hhCJOJQJaJmH!sH!'hh0 6CJOJQJaJmH!sH!$hhFCJOJQJaJmH!sH!$hh0CJOJQJaJmH!sH!$hhHCJOJQJaJmH!sH!$hhnCJOJQJaJmH!sH!$hh0 CJOJQJaJmH!sH!%paqhq!rArrrrrrr$s.s0s5sEsJssstttttttt@fɺɺاɔؔؔ$hhxCJOJQJaJmH!sH!$hhkCJOJQJaJmH!sH!hhkCJOJQJaJhhCJOJQJaJ$hhCJOJQJaJmH!sH!'hh6CJOJQJaJmH!sH!:fkډ܉!8XbrxˊOTjkt׌ߌACIrt޻޻ާΧާޘ޻ާhhxCJOJQJaJ'hh6CJOJQJaJmH!sH!$hhkCJOJQJaJmH!sH!hh6CJOJQJaJ$hhCJOJQJaJmH!sH!hhCJOJQJaJ@Z[klmnɗʗޗ  )bprزŋxeeeeVeVeVhh5PCJOJQJaJ$hh5PCJOJQJaJmH!sH!$hhM CJOJQJaJmH!sH!$hh[[CJOJQJaJmH!sH!'hh36CJOJQJaJmH!sH!$hh3CJOJQJaJmH!sH!$hh]VCJOJQJaJmH!sH!$hh CJOJQJaJmH!sH!'hh 6CJOJQJaJmH!sH!rΘ$469:;bӾjjR>(+hh[[CJOJQJaJmHnHsH!u'hh[[CJOJQJaJmHnHu.hhM 6CJOJQJaJmHnHsH!u*hhM 6CJOJQJaJmHnHu'hh]VCJOJQJaJmHnHu'hhM CJOJQJaJmHnHu+hh5PCJOJQJaJmHnHsH!u(hh00JCJOJQJaJmH!sH!+hh0CJOJQJaJmHnHsH!u+hh]VCJOJQJaJmHnHsH!ubefmٙ齧{g{O{;'hh]VCJOJQJaJmHnHu.hh5P6CJOJQJaJmHnHsH!u'hh5PCJOJQJaJmHnHu*hh5P6CJOJQJaJmHnHu+hhkCJOJQJaJmHnHsH!u+hhxCJOJQJaJmHnHsH!u+hh5PCJOJQJaJmHnHsH!u+hh0CJOJQJaJmHnHsH!u+hh6KCJOJQJaJmHnHsH!u $/:;Tblz78>fzտթՓ}g}SgS}Sg}g}@$hh5PCJOJQJaJmH!sH!'hh CJOJQJaJmHnHu+hh CJOJQJaJmHnHsH!u+hh]VCJOJQJaJmHnHsH!u+hh[[CJOJQJaJmHnHsH!u+hh5PCJOJQJaJmHnHsH!u*hh5P6CJOJQJaJmHnHu'hh5PCJOJQJaJmHnHu+hhFCJOJQJaJmHnHsH!uś̛ћޛ*O[\cnoǴǴǥ|f|WWD$hh CJOJQJaJmH!sH!hh3CJOJQJaJ+hh]VCJOJQJaJmHnHsH!u+hh3CJOJQJaJmHnHsH!u$hh[[CJOJQJaJmH!sH!hhM CJOJQJaJ$hh6KCJOJQJaJmH!sH!$hh5PCJOJQJaJmH!sH!$hh3CJOJQJaJmH!sH!$hhM CJOJQJaJmH!sH!"$%&;BRW`g|!*HUZ\Ǵڴǥl]ǒJ]J]$hh@CJOJQJaJmH!sH!hh@CJOJQJaJ$hhkCJOJQJaJmH!sH!$hhxCJOJQJaJmH!sH!$hh CJOJQJaJmH!sH!hh3CJOJQJaJ$hh]VCJOJQJaJmH!sH!$hhFCJOJQJaJmH!sH!$hh3CJOJQJaJmH!sH!$hh0CJOJQJaJmH!sH!\jlm>p؟ڟ,fknߠ ͺͺnZnnGnG$hhxCJOJQJaJmH!sH!'hh;6CJOJQJaJmH!sH!$hh;CJOJQJaJmH!sH!$hhkCJOJQJaJmH!sH!$hh0CJOJQJaJmH!sH!$hh:CJOJQJaJmH!sH!$hh CJOJQJaJmH!sH!$hh[[CJOJQJaJmH!sH!hh[[CJOJQJaJhh@6CJOJQJaJ([\͢_mop٣MfǴڡڴڎ{ڡڎhT@'hh,5CJOJQJaJmH!sH!'hhp,5CJOJQJaJmH!sH!$hhp,CJOJQJaJmH!sH!$hhkCJOJQJaJmH!sH!$hh)+CJOJQJaJmH!sH!$hhFCJOJQJaJmH!sH!$hhxCJOJQJaJmH!sH!$hh[[CJOJQJaJmH!sH!$hh:CJOJQJaJmH!sH!$hh#CJOJQJaJmH!sH!H;d^`;gd ;^`;gd $da$gd $dha$gdԤ(BHZdzn_O_<*_<_"hhJ;6CJOJQJ]aJ$hhJ;CJOJQJaJmH!sH!hhJ;6CJOJQJaJhhJ;CJOJQJaJ'hWhW5CJOJQJaJmH!sH!!h@5CJOJQJaJmH!sH!hh@5CJOJQJaJhhW?5CJOJQJaJ'hhLV5CJOJQJaJmH!sH!'hh,5CJOJQJaJmH!sH!hh,5CJOJQJaJ'hh[[5CJOJQJaJmH!sH!Z{֥"267Vs<GSWstШͺܑͺo[o[ͺͺ['hhJ;CJOJQJ\aJmH!sH!hhJ;CJOJQJ\aJ"hhJ;6CJOJQJ]aJ*hhJ;6CJOJQJ]aJmHsH$hhJ;CJOJQJaJmH sH $hhJ;CJOJQJaJmH!sH!hhJ;CJOJQJaJ$hhJ;CJOJQJaJmHsHhhJ;6CJOJQJaJH֥"stbШV $da$gdLV $dha$gdLV $dha$gd;d^`;gd ;^`;gd $da$gd;]^`;gd%7|}ΩǷǤ{dP8.hhJ;0J5CJOJQJ\aJmH!sH!&hhJ;0J5CJOJQJ\aJ,hhJ;0J56CJOJQJ\]aJ,hhW?0J56CJOJQJ\]aJ"hhJ;6CJOJQJ]aJ$hhJ;CJOJQJaJmH!sH!hhJ;6CJOJQJaJhhJ;CJOJQJaJ'hhJ;CJOJQJ\aJmH!sH!*hhJ;6CJOJQJ\aJmH!sH! +,vԪ۪&@LPUYafpqïÜuuubS@b@$hhnCJOJQJaJmHsHhhnCJOJQJaJ$hh,CJOJQJaJmH!sH!'hh}6CJOJQJaJmH!sH!$hh}CJOJQJaJmH!sH!$hhnCJOJQJaJmH!sH!'hh}5CJOJQJaJmH!sH!'hhn5CJOJQJaJmH!sH!'hhLV5CJOJQJaJmH!sH!'hhx5CJOJQJaJmH!sH!qr߫ϬIJbǴǴǴzڴg_[_[_[_[gh[jh[U$hh}CJOJQJaJmHsH$hh,CJOJQJaJmH!sH!$hh|+CJOJQJaJmH!sH!'hh}6CJOJQJaJmH!sH!$hh}CJOJQJaJmH!sH!$hhnCJOJQJaJmHsH$hhnCJOJQJaJmH!sH!$hh0CJOJQJaJmH!sH! $da$gdLV dgd'* 21h:p,`/ =!"#$% $$Ifl!vh#vb#vN #v@ :V l t05b5N 5@ alyt|$$$Ifl!vh#vb#vN #v@ :V l t0,5b5N 5@ alyt|$$$Ifl!vh#vb#vN #v@ :V l t0,5b5N 5@ alyt|$$$Ifl!vh#vb#vN #v@ :V l t0,5b5N 5@ alyt|$$$Ifl!vh#vb#vN #v@ :V l4 t0+,5b5N 5@ alyt|$$$Ifl!vh#vb#vN #v@ :V l4 t0+5b5N 5@ alyt|$j  666666666vvvvvvvvv666666>6666666666666666666666666666666666666666666666666hH6666666666666666666666666666666666666666666666666666666666666666662 0@P`p2( 0@P`p 0@P`p 0@P`p 0@P`p 0@P`p 0@P`p8XV~ OJPJQJ_HmH!nH!sH!tH!J`J &MQNormal dCJ_HaJmH sH tH DA`D Default Paragraph FontRi@R 0 Table Normal4 l4a (k ( 0No List @ '*0CFootnote Text,Footnote Text Char Char,Char,Char Char,Char Char Char dCJaJ '*0^Footnote Text Char,Footnote Text Char Char Char,Char Char1,Char Char Char1,Char Char Char CharCJaJ@&@ '*0Footnote ReferenceH*D@"D @ List Paragraph ^m$PJ.W@1. @`Strong 5\^J"A" @hps^J:UQ: n0 Hyperlink>*B*^JphB'@aB U10Comment ReferenceCJaJB@rB U10 Comment TextdCJaJBB U10Comment Text CharCJaJ@j@qr@ U10Comment Subject5\NN U10Comment Subject Char5CJ\aJR@R U10 Balloon Text dCJOJQJ^JaJNN U10Balloon Text CharCJOJQJ^JaJ zatn|@| i Table Grid7:V0 dPJ^J`^@` i0 Normal (Web)ddd[$\$CJOJPJQJ^JaJPK![Content_Types].xmlN0EH-J@%ǎǢ|ș$زULTB l,3;rØJB+$G]7O٭V$ !)O^rC$y@/yH*񄴽)޵߻UDb`}"qۋJחX^)I`nEp)liV[]1M<OP6r=zgbIguSebORD۫qu gZo~ٺlAplxpT0+[}`jzAV2Fi@qv֬5\|ʜ̭NleXdsjcs7f W+Ն7`g ȘJj|h(KD- dXiJ؇(x$( :;˹! I_TS 1?E??ZBΪmU/?~xY'y5g&΋/ɋ>GMGeD3Vq%'#q$8K)fw9:ĵ x}rxwr:\TZaG*y8IjbRc|XŻǿI u3KGnD1NIBs RuK>V.EL+M2#'fi ~V vl{u8zH *:(W☕ ~JTe\O*tHGHY}KNP*ݾ˦TѼ9/#A7qZ$*c?qUnwN%Oi4 =3N)cbJ uV4(Tn 7_?m-ٛ{UBwznʜ"Z xJZp; {/<P;,)''KQk5qpN8KGbe Sd̛\17 pa>SR! 3K4'+rzQ TTIIvt]Kc⫲K#v5+|D~O@%\w_nN[L9KqgVhn R!y+Un;*&/HrT >>\ t=.Tġ S; Z~!P9giCڧ!# B,;X=ۻ,I2UWV9$lk=Aj;{AP79|s*Y;̠[MCۿhf]o{oY=1kyVV5E8Vk+֜\80X4D)!!?*|fv u"xA@T_q64)kڬuV7 t '%;i9s9x,ڎ-45xd8?ǘd/Y|t &LILJ`& -Gt/PK! ѐ'theme/theme/_rels/themeManager.xml.relsM 0wooӺ&݈Э5 6?$Q ,.aic21h:qm@RN;d`o7gK(M&$R(.1r'JЊT8V"AȻHu}|$b{P8g/]QAsم(#L[PK-![Content_Types].xmlPK-!֧6 0_rels/.relsPK-!kytheme/theme/themeManager.xmlPK-!0C)theme/theme/theme1.xmlPK-! ѐ' theme/theme/_rels/themeManager.xml.relsPK] 6 F  &y&'S*x-16;?BPTSVYu\af|kp)vx{ڀftQrb\ZqWYZ[\]^_abcdefhijklmnpqtx{|1*PySUVJWnXZL[_hfpHX`gorsuvwyz}~L# @0(  B S  ?_GoBack%0<Hy2?FLfow|'12:U\cjv}26HQr{24:Etv~26]^_f   }   !-LQW]aft  &'-45;<ABHLgz}~ !pyz !&*0DL^clqwACTV`hsyekx{| !lx<EJOV_DM ELefln56 $2=DF & %mt %&*+23<BDJLQXabghrswx~     & ' / 0 = > H I T U \ ] g h m !!! "2"C"K"S"^"""""""""""#5#7#>#?#F#H#P#U#W################$$$$$$!$"$+$1$6$7$>$E$J$L$P$Q$U$V$[$d$i$j$p$w$|$}$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$% %%%%%%*%4%9%:%>%?%F%G%P%Q%V%[%f%h%x%~%%%%%%%%%%%%&&& & &&&&%&=&J&Q&R&[&\&f&h&w&|&}&&&&&&&&&&&'''''''''( (!('(d(n(o(v(w(~(((((((((((((((((((((((((((()).)9)N)W)))))))))**>*F**|888888888888899 999999%9&9-9.929398999@9M9O9P9Z9\9_9`9a9m9o9u9v9|9}99999999999999999999999999999999:: : :::::":*:-:3:;:=:B:D:I:J:O:P:U:V:\:b:g:h:r:s:{:|:::::::::::::::::::::::::::::::;;;;;; ;!;';(;,;-;5;F;I;Q;X;Y;k;o;v;{;};;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;< < <<<"<)<1<2<9<;<I<L<O<P<[<\<b<c<u<w<<<<<<<H=N=====>>??8@;@W@Z@@@@@@@@@|AAAAAAAAAABBBBOHOJOOOQOVOWOZO[ObOiOrOsOyOzOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOPP PPPP"P$P.P/P2PGPPPQP\PnPwPxPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPP QQQ"Q#Q/Q1QhIh^hghhhHiWiaiii!j(jAjHjjjjjjjjj$k)k.k0k5k;kEkJkkkkkHlPllllllllmz?zKzLzUzVz`zbzsztzwzxzzzzzzzzzzzzz#{){*{7{@{A{C{I{{{{{{{{{{{{{{{{{{{|.|3|4|B|C|L|N|Y|Z|`|g|j|k|q|x|y|}|~||||||||||||||||||||||||||||}}} } } }}}}})}+}3}4}9}:}?}@}G}H}O}P}W}X}]}^}e}f}p}r}v}w}}}}}}}}}}}}}}}}}}}}}}}}}~3~9~:~C~D~H~I~Q~S~]~^~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~ 4<=CEPQYZnt03CIORmrs~>@CJfgklځ܁݁!+,238CEXbcrxyǂȂʂ˂CIOUCKjkt{̄̈́քׄ߄ACILMR]fglt~…̅ͅՅօ݅ޅ&'./56>?FGNOSTY[bdrty{džȆˆ̆ӆԆֆ׆݆ކ %&+,67?@FGNPUVahrsxÇ͇̇҇Ӈևׇ"#*+1289AGNOUV]^eflmrs|}ȈɈΈψԈՈ܈݈ !%&/7=>CDGHRSVW\]ghpxz{ʼnƉɉωԉՉ܉ %'/<@AEFIJOP[nrswxNJȊ̊͊Պ &'+,4:EFKLVW]^bcklpquvy{‹ËƋNjϋՋڋۋ#%*+18=?IJOPUV`aghlmuvČŌ͌Ԍی .0;>@AEFPQWXcdhiqrtuƍȍ͍΍эҍ؍ٍ  +,128DER^eknsȎʎ >@CIZeknʏޏ  )CGbhprœ̓ѓؓޓ*3CIOTU[\cÔŔ͔֔ٔڔߔ"%&/;BCLRW`g|!&*2CHUVZm>@CJpwؗߗ,4CIfmnwߘ CECK[c͚ԚCI_fmpٛۛCMflCHP{ƝΝ֝"026BCFV_sy KSWtz˟̟ӟ՟ CFРנVhox+-<Fv{Ԣܢ&(<@LPUVafqr<FϤڤ<BIPbt<=xz56LWx y HHwIxIUHVfuvW+Upkp?TdCL$XhVfPo@Idpd^`o(.T^T`.$L^$`L. ^ `. ^ `.L^`L.d^d`.4^4`.L^`L.^`^Jo(.^`^J.pL^p`L^J.@ ^@ `^J.^`^J.L^`L^J.^`^J.^`^J.PL^P`L^J.8^8`^Jo(.^`^J. L^ `L^J. ^ `^J.x^x`^J.HL^H`L^J.^`^J.^`^J.L^`L^J. 0^`0CJ^Jo(.^`^J. L^ `L^J. ^ `^J.m^m`^J.=L^=`L^J. ^ `^J.^`^J.L^`L^J.^`o(.T^T`.$L^$`L. ^ `. ^ `.L^`L.d^d`.4^4`.L^`L. ^`OJQJo( ^`OJQJo(o p^p`OJQJo( @ ^@ `OJQJo( ^`OJQJo(o ^`OJQJo( ^`OJQJo( ^`OJQJo(o P^P`OJQJo(^`o(.^`.pL^p`L.@ ^@ `.^`.L^`L.^`.^`.PL^P`L.kp?dpdCPohuvW+UH_z!!!!!!!!!!!!!!!!!ʐ        f!!!!!!!!_z!!!!!!!!         !!!!!!!!! H|p3ME#{M$.5"A?Y1' ,?LEWdFD$ |$|d%Y)'*)+?x+Ly+ ,p,vq,WI./0U1233#4!569p4:$;(u;J<~<+1?Y2@@B.NBrCE} K6K5PQ&MQ3|Q{R\PT]V X[Js[ \W%^A^(N^,`fjd% e=h@h jq&qnQqvqo#r9ar,hr{v,{ |\v|.}|0I~$ (R|+@9V[[U6DcUZ,&MIxN$ M un ,~1|qg}>i:;'Sd| W?Qn "Xv 9_= XzkP63x,hK4`;A?LViFbPCiz4(J8J;,#]+}0 BbvXdO?Z)j?(rC#0t%*Hk2L-r.uviC8]@`@Unknown G*Ax Times New Roman5Symbol3. *Cx Arial7.@ Calibri5. .[`)Tahoma7@Cambria?= *Cx Courier New;WingdingsA$BCambria Math"1hYD'YD'!+'ٌT,ٌT,0::2QHP  $P.NB2!xx AZRASTAltaf(       Oh+'0,x   $AZRASTNormalAltaf2Microsoft Office Word@Ik@.l@T~@T~ٌ՜.+,0 hp|  ,T:  Title  !"#$%&'()*+,-./0123456789:;<=>?@ABCDEFGHIJKLMNOPQRSTUVWXYZ[\]^_`abcdefghijklmnopqrstuvwxyz{|}~Root Entry FZ>~Data 1Table|WordDocument 46SummaryInformation(DocumentSummaryInformation8MsoDataStore>>~#V>~OEUKYA5VS5A==2>>~#V>~Item  PropertiesUCompObj r   F Microsoft Word 97-2003 Document MSWordDocWord.Document.89q